Thursday, 1 January 2015

KEDUDUKAN DAN PERANAN GURU DI SEKOLAH DAN MASYARAKAT

KEDUDUKAN DAN PERANAN GURU
DI SEKOLAH DAN MASYARAKAT
A.         Pendahuluan
     Sebelum kita berbicara tentang kedudukan dan peranan guru, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu pengertian dari istilah “guru”, agar kita memiliki persepsi yang sama tentang batasan  istilah “guru” tersebut.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonsesia, istilah guru adalah “orang yang pekerjaan, mata pencaharian atau profesinya mengajar.” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001). 
    Sedangkan menurut A. Malik Fajar, guru merupakan sosok yang mengemban tugas mengajar, mendidik dan membimbing (1). (A. Malik Fadjar, 1998). Jika ketiga sifat tersebut tidak melekat pada seorang guru, maka ia tidak dapat dipandang sebagai guru.
   Menurut Henry Adam, seperti yang dikutip A. Malik Fadjar, bahwa “guru itu berdampak abadi, ia tidak pernah tahu, dimana pengaruhnya itu berhenti” (A teacher effects eternity, he can never tell where his influence stops). (A. Malik Fadjar, 1998).
   Menurut Moh. Uzer Usman, guru adalah jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Pekerjaan ini bisa dilakukan oleh orang yang tidak memiliki keahlian untuk melakukan kegiatan atau pekerjaan sebagai guru. Untuk menjadi guru diperlukan syarat-syarat tertentu, apalagi sebagai guru yang profesional yang harus menguasai betul seluk-beluk pendidikan dan pengajaran dengan berbagai ilmu pengetahuan lainnya yang perlu dibina dan dikembangkan melalui masa pendidikan tertentu atau pendidikan pra-jabatan.( Usman, Moh. Uzer, 1998).

    Sedangkan menurut Undang-undang RI Nomer 14 tahun 2005, bab I, pasal 1, ayat, 1 disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. (UU nomer 14 tahun 2005)
Dari pengertian di atas maka seorang guru, bisa juga dikatakan sebagai :
1.    Seorang Pendidik
2.    Seorang Pengajar
3.    Seorang Pembimbing
4.    Seorang Pengarah
5.    Seorang Pelatih
6.    Seorang Penilai dan
7.    Seorang Pengevaluasi (evaluator) bagi peserta didik.
Atau bisa dikatakan juga bahwa guru adalah sebagai ‘’Subyek’’ (Pelaku pendidikan), sedangkan Peserta didik adalah sebagai ‘’Obyek’’ (Sasaran pendidikan).

B.       Kedudukan guru
     Dalam ilmu Sosiologi kita biasa menemukan dua istilah yang akan selalu berkaitan, yakni  ‘’status’’ (merupakan sebuah peringkat, kedudukan atau posisi seseorang dalam suatu kelompok, atau posisi suatu kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lain) dan ‘’peran sosial’’ (merupakan sebuah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki suatu status tertentu tersebut) di dalam masyarakat.
     Status sebagai guru, atau kedudukan sebagai guru dapat dipandang sebagai yang tinggi atau rendah, tergantung di mana ia berada. Sedangkan perannya yang berkedudukan sebagai pendidik seharusnya menunjukkan kelakuan yang layak sesuai harapan masyarakat, dan guru diharapkan berperan sebagai teladan dan rujukan dalam masyarakat dan khususnya anak didik yang dia ajar. Guru tidak hanya memiliki satu peran saja, ia bisa berperan sebagai orang yang dewasa, sebagai seorang pengajar dan sebagai seorang pendidik, sebagai pemberi contoh dan sebagainya.             


C.   Peranan Guru di Sekolah
   Peranan guru terhadap murid-muridnya merupakan peran vital dari sekian banyak peran yang harus ia jalani. Hal ini dikarenakan komunitas utama yang menjadi wilayah tugas guru adalah di dalam kelas untuk memberikan keteladanan, pengalaman serta ilmu pengetahuan kepada mereka. Begitupun peranan guru atas murid-muridnya tadi bisa dibagi menjadi dua jenis menurut situasi interaksi sosial yang mereka hadapi, yakni :
(1). Situasi formal dalam proses belajar mengajar di kelas dan,
(2). Situasi informal di luar kelas.
   Dalam situasi formal, seorang guru harus bisa menempatkan dirinya sebagai seorang yang mempunyai kewibawaan dan otoritas tinggi, guru harus bisa menguasai kelas dan bisa mengontrol anak didiknya. Hal ini sangat perlu guna menunjang keberhasilan dari tugas-tugas guru yang bersangkutan yakni mengajar dan mendidik murid-muridnya. Hal-hal yang bersifat pemaksaan pun kadang perlu digunakan demi tujuan di atas. Misalkan pada saat guru menyampaikan materi belajar padahal waktu ujian sangat mendesak, pada saat bersamaan ada seorang murid ramai sendiri sehingga menganggu suasana belajar mengajar di kelas, maka guru yang bersangkutan memaksa anak tadi untuk diam sejenak sampai pelajaran selesai dengan cara-cara tertentu.
Tentunya hal di atas juga harus disertai dengan adanya keteladanan dan kewibawaan yang tinggi pada seorang guru. Keteladanan sangatlah penting. Hal ini sejalan dengan teori “Mekanisme Belajar” yang disampaikan David O Sears (1985) bahwa ada tiga mekanisme umum yang terjadi dalam proses belajar anak.
1.  Asosiasi atau classical conditioning
Asosiasi atau classical conditioning ini berdasarkan dari percobaan yang dilakukan Pavlov pada seekor anjing. Anjing tersebut belajar mengeluarkan air liur pada saat bel berbunyi karena sebelumnya disajikan daging setiap saat terdengar bel. Setelah beberapa saat, anjing itu akan mengeluarkan air liur bila terdengar bunyi bel meskipun tidak disajikan daging, karena anjing tadi mengasosiasikan bel dengan daging. Kita juga belajar berperilaku dengan asosiasi. Misalnya, kata “Nazi” biasanya diasosiasikan dengan kejahatan yang mengerikan. Kita belajar bahwa Nazi adalah jahat karena kita telah belajar mengasosiasikannya dengan hal yang mengerikan.

(2) Reinforcement,
  Orang belajar menampilkan perilaku tertentu karena perilaku itu disertai dengan sesuatu yang menyenangkan dan dapat memuaskan kebutuhan (atau mereka belajar menghindari perilaku yang disertai akibat-akibat yang tidak menyenangkan). Seorang anak mungkin belajar membalas penghinaan yang diterimanya di sekolah dengan mengajak berkelahi si pengejek karena ayahnya selalu memberikan pujian bila dia membela hak-haknya. Seorang mahasiswa juga mungkin belajar untuk tidak menentang sang professor di kelas karena setiap kali dia melakukan hal itu, sang professor selalu mengerutkan dahi, tampak marah dan membentaknya kembali.
(3) Imitasi.
      Seringkali orang mempelajari sikap dan perilaku sosial dengan meniru sikap dan perilaku yang menjadi model. Seorang anak kecil dapat belajar bagaimana menyalakan perapian dengan meniru bagaimana ibunya melakukan hal itu. Anak-anak remaja mungkin menentukan sikap politik mereka dengan meniru pembicaraan orang tua mereka selama kampanye pemilihan umum. Imitasi ini bisa terjadi tanpa adanya reinforcement eksternal dan hanya melalui observasi biasa terhadap model.
Di antara ketiga macam mekanisme belajar di atas, imitasi adalah mekanisme yang paling kuat. Dalam banyak hal anak-anak cenderung meniru perilaku orang dewasa dan selain orang tua si anak, guru di sekolah merupakan orang dewasa terdekat kedua bagi mereka. Bahkan di zaman sekarang ini banyak terjadi kasus anak lebih mempunyai kepercayaan terhadap guru dibanding pada orang tua mereka sendiri. Maka dari itulah seorang guru harus bisa menunjukkan sikap dan keteladanan yang baik di hadapan murid-muridnya, biar dikemudian hari tidak akan ada istilah ‘guru kencing berdiri, murid kencing berlari’.
Selain keteladanan, kewibawaan juga perlu. Dengan kewibawaan guru menegakkan disiplin demi kelancaran dan ketertiban proses belajar mengajar. Dalam pendidikan, kewibawaan merupakan syarat mutlak mendidik dan membimbing anak dalam perkembangannya ke arah tujuan pendidikan. Bimbingan atau pendidikan hanya mungkin bila ada kepatuhan dari pihak anak dan kepatuhan diperoleh bila pendidik mempunyai kewibawaan.
Kewibawaan dan kepatuhan merupakan dua hal yang komplementer untuk menjamin adanya disiplin (S. Nasution, 1995).

D.  Peranan Guru dalam Masyarakat
Peranan guru dalam masyarakat tergantung pada gambaran masyarakat tentang kedudukan guru dan status sosialnya di masyarakat. Kedudukan sosial guru berbeda di negara satu dengan negara lain dan dari satu zaman ke zaman lain pula. Di negara-negara maju biasanya guru di tempatkan pada posisi sosial yang tinggi atas peranan-peranannya yang penting dalam proses mencerdaskan bangsa. Namun keadaan ini akan jarang kita temui di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Sebenarnya peranan itu juga tidak terlepas dari kualitas pribadi guru yang bersangkutan serta kompetensi mereka dalam bekerja. Pada masyarakat yang paling menghargai guru pun akan sangat sulit untuk berperan banyak dan mendapatkan kedudukan sosial yang tinggi jika seorang guru tidak memiliki kecakapan dan kompetensi di bidangnya. Ia akan tersisih dari persaingan dengan guru-guru lainnya. Apalagi guru-guru yang tidak bisa memberikan keteladanan bagi para muridnya, sudah barang tentu ia justru menjadi bahan pembicaraan orang banyak. Jika dihadapan para muridnya seorang guru harus bisa menjadi teladan, ia pun dituntut hal yang sama di dalam berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Kenapa demikian ? Karena hal tersebut sesuai pula dengan kedudukan mereka sebagai agent of change yang berperan sebagai inovator, motivator dan fasilitator terhadap kemajuan serta pembaharuan.
Dalam masyarakat, guru adalah sebagai pemimpin yang menjadi panutan atau teladan serta contoh (reference) bagi masyarakat sekitar. Mereka adalah pemegang norma dan nilai-nilai yang harus dijaga dan dilaksanakan. Ini dapat kita lihat bahwa betapa ucapan guru dalam masyarakat sangat berpengaruh terhadap orang lain. Ki Hajar Dewantoro menggambarkan peran guru sebagai stake holder atau tokoh panutan dengan ungkapan-ungkapan Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.

Ing ngarsa sung tulada  : "(yang) di depan memberi teladan/contoh"
Ing madya mangun karsa : "(yang)" di tengah membangun prakarsa/ semangat"
Tut wuri handayani  : ("dari belakang mendukung"). (http://id.wikipedia.org).


Ketiga prinsip tersebut sampai sekarang masih tetap dipakai sebagai panduan dan pedoman dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Dengan ketiga prinsip tersebut, tampak jelas bahwa guru memang sebagai “pemeran aktif”, dalam keseluruhan aktivitas masyarakat sercara holistik. Tentunya para guru harus bisa memposisikan dirinya sebagai agen yang benar-benar membangun, sebagai pelaku propaganda yang bijak dan menuju ke arah yang positif bagi perkembangan masyarakat. (T. Raka Joni, 1984).
 E.  Kesimpulan
Dari uraian  di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut
1.         Kedudukan sebagai guru dapat dipandang sebagai yang tinggi atau rendah, tergantung di mana ia berada pada tempat dan kondisinya.
2.         Guru tidak hanya memiliki satu peran saja, akan tetapi ia bisa berperan sebagai seorang dewasa, sebagai seorang pengajar, sebagai seorang pendidik, sebagai pemberi contoh dan sebagainya bagi anak-anak didiknya dan bagi masyarakat di sekitarnya.
3.         Peranan guru terhadap murid-muridnya merupakan peran vital dari sekian banyak peran yang harus ia jalani. Hal ini dikarenakan komunitas utama yang menjadi wilayah tugas guru adalah di dalam kelas untuk memberikan keteladanan, pengalaman serta ilmu pengetahuan kepada mereka.
4.         Dalam masyarakat, guru adalah sebagai pemimpin yang menjadi panutan atau teladan serta contoh (reference) bagi masyarakat sekitar. Mereka adalah pemegang norma dan nilai-nilai yang harus dijaga dan dilaksanakan.





F.  Penutup
Demikian makalah tentang “Kedudukan dan Peran Guru di Sekolah dan Masyarakat”, semoga Guru Indonesia benar-benar menjadi guru yang bisa  memposisikan dirinya sebagai agen yang benar-benar membangun, sebagai pelaku propaganda yang bijak dan menuju ke arah yang positif bagi perkembangan anak didik di sekolahnya maupun di masyarakatnya.
























DAFTAR KEPUSTAKAAN

A. Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Jakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia [LP3NI], 1998.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sekolah_Taman_Siswa
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
T. Raka Joni, dkk., Wawasan Kependidikan Guru, Jakarta: Depdikbud, 1984.
Undang-undang Republik Indonesia Nomer 14 tahun 2005,  Tentang Guru dan Dosen.
Usman, Moh. Uzer, Menjadi Guru Profesional, Cet. IX, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998
www.bestektur.com › Arti dan Definisi



MAKALAH TASAWUF (ASAL-USUL TASAWUF, MUNCUL DAN BERKEMBANGNYA TASAWUF) DISUSUN DALAM RANGKA MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH MATERI PAI II Disusun oleh : Kastono X.03/13.14/02.9671 Mukharom X.03/13.14/T/02.9921 Khusoyin Al Mahmudi X.03/13.14/T/02. Hanas Soni Aji X.03/13.14/T/02. FAKULTAS TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MAMBA`UL `ULUM SURAKARTA 2014 TASAWUF (ASAL-USUL TASAWUF, MUNCUL DAN BERKEMBANGNYA TASAWUF) A. Pendahuluan Salah satu ilmu yang dapat membantu terwujudnya manusia yang berkualitas adalah ilmu Tasawuf.Ilmu tersebut satu mata rantai dengan ilmu-ilmu lainnya dengan pada sisi luar yang dhahir yang tak ubahnya jasad dan ruh yang tak dapat terpisah keduanya. Ilmu tersebut dinamakan juga ilmu bathin sebagaimana pendapat Syekh al-Manawi dalam kitab Faed al-Qadir dalam menjelaskan hadis Nabi : العلم علمان فعلم في القلب فذالك علم النافع وعلم علي اللسان قذالك حجة الله علي ابن ادم (ش) والحكيم عن الحسن مرسلا (خط) عن جابر (ح) وكيل علم الباطن يخرج من القلب وعلم الظاهر يخرج من اللسان ‘Ilmu itu dua macam, ilmu yang ada dalam qalbu, itulah ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang diucapkan oleh lidah adalah ilmu hujjah/hukum, atas anak cucu Adam.Dari Abi Syaebah dan Hakim dari Hasan dan dikatakan Syekh al-Manawi bahwa ilmu bathin itu keluar dari qalbu dan ilmu dhahir itu keluar dari lidah. Bahwa ilmu bathin yang keluar dari qalbu itu adalah tasawuf, yang dikerjakan dan diamalkan oleh qalbu atau hati, dan ilmu dhahir yang keluar dari lidah adalah ilmu yang diucapkan oleh lidah dan diamalkan oleh jasad yang disebut juga ilmu syari’ah. Ilmu tersebut tidak dapat terpisah keduanya karena ilmu dhahir diucapkan dan digerakkan oleh tubuh/jasad dan ilmu bathin diamalkan oleh qalbu dan serentak pengamalannya bersamaan keduanya.Hal tersebut menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak dapat dipisahkan keduanya bahkan makin dalam ilmu Tasawuf seseorang itu semakin mendalam pula pengamalan syari’at-nya dan kewarasannya.Seorang Sufi sangat menjaga syari’at-nya dan bathin-nya, bahkan keluar masuk nafasnya dan khatar (kata hatinya) itu, juga dipeliharanya. Orang-orang yang memelihara nafasnya yakni keluar masuk atau turun naiknya nafas itu berbarengan dengan disertai dzikir rahasia melalui qalbu-nya, misalnya dzikirAllah ( الله ) misalnya pada saat itu nafasnya keluar/turun, dan dengan dzikir hua ( هو ) pada saat nafasnya masuk/naik, amalan seperti ini adalah amalan-amalan Sufi. Selama manusia itu bernafas, maka dzikir bathin tersebut dapat diamalkan baik di waktu duduk, berdiri, maupun berbaring, bahkan dalam kondisi bagaimanapun dzikir bathinitu dapat diamalkan. Manusia yang amalannya demikian tidak terpisah dengan Allah, sehingga sulit untuk melupakan Allah, apalagi berpikir berbuat dosa dan melanggar perintah Allah, karena tidak akan dapat berkumpul bersama-sama pada waktu bersamaan pada seseorang dalam qalbu-nya, nafasnya ber-dzikir kepada Allah, sementara jasadnya berbuat dosa. Tetapi yang pasti adalah ber-dzikir qalbu-nya dan diamalkan oleh jasadnya dan masuk sampai dalam sumsum tulang, atau dimensi dalam dan amalan cara itu pula yang disebut Tasawuf. Tasawuf sebagai sumsum tulang atau dimensi dalam, dari wahyu ke-Islaman, adalah upaya dalam yang luhur, dimana tauhid tercapai. Semua orang Islam yakin akan kesatuan sebagaimana terungkap di dalam syahadat. Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa Tasawuf adalah salah satu dari ilmu-ilmu ke-Islaman yang perlu untuk dikaji. Oleh karena itu, pada makalah ini akan diuraikan : 1. Pengertian tasawuf ? 2. Asal-usul kata tasawuf ? 3. Bagaimana awal mula munculnya dan berkembangnya tasawuf ? BAB I I. PEMBAHASAN A. Pengetian Tasawuf Arti tasawuf dan asal katanya menurut logat sebagaimana tersebut dalam bukuMempertajam Mata Hati (dalam melihat Allah). Menurut Syekh Ahmad ibn Athaillah yang diterjemahkan oleh Abu Jihaduddin Rafqi al-Hānif : 1. Berasal dari kata suffah (صفة)= segolongan sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan dirinya di serambi masjid Nabawi, karena di serambi itu para sahabat selalu duduk bersama-sama Rasulullah untuk mendengarkan fatwa-fatwa beliau untuk disampaikan kepada orang lain yang belum menerima fatwa itu. 2. Berasal dari kata sūfatun (صوفة)= bulu binatang, sebab orang yang memasuki tasawufitu memakai baju dari bulu binatang dan tidak senang memakai pakaian yang indah-indah sebagaimana yang dipakai oleh kebanyakan orang. 3. Berasal dari kata sūuf al sufa’ (صوفة الصفا)= bulu yang terlembut, dengan dimaksud bahwa orang sufi itu bersifat lembut-lembut. 4. Berasal dari kata safa’ (صفا)= suci bersih, lawan kotor. Karena orang-orang yang mengamalkan tasawuf itu, selalu suci bersih lahir dan bathin dan selalu meninggalkan perbuatan-perbuatan yang kotor yang dapat menyebabkan kemurkaan Allah. Pendapat tersebut di atas menjadi khilaf (perbedaan pendapat) para ulama, bahkan ada pendapat tidak menerima arti tasawuf dari makna logat atau asal kata.Menurut al-Syekh Abd.Wahid Yahya berkata: Banyak perbedaan pendapat mengenai kata”sufi” dan telah ditetapkan ketentuan yang bermacam-macam, tanpa ada satu pendapat yang lebih utama dari pendapat lainnya kerena semua itu bisa diterima. Pada hakekatnya, itu merupakan penamaan simbolis. Jika diinginkan keterangan selanjutnya, maka haruslah kembali pada jumlah bilangan pada huruf-hurufnya adalah sesuatu yang menakjubkan jika diperhatikan bahwa jumlah dari huruf sufi sama dengan jumlah“al-Hakim al-Ilahi”, maka seorang sufi yang hakiki ialah orang yang sudah mencapaihikmah Ilahi yaitu orang arif dengan Allah, karena pada hakekatnya bahwa Allah tidak dapat dikenal melainkan dengan-Nya (dengan pertolongan-Nya) Dengan pendapat para ahli tasawuf tentang arti tasawuf menurut bahasa tersebut di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa nama-nama dan istilah menurut bahasa adalah arti simbolik yang bermakna kebersihan dan kesucian untuk senantisa berhubungan dengan Allah.Untuk mencapai tingkat ma’rifat untuk menjadi manusia yang berkualitas lagi kamil. B. Asal Usul Tasawuf Dari beberapa keterangan, diketahui bahwa sesungguhnya pengenalan tasawufsudah ada dalam kehidupan Nabi saw., sahabat, dan tabi’in. Sebutan yang populer bagi tokoh agama sebelumnya adalah zāhid, ābid, dan nāsik, namun term tasawuf baru dikenal secara luas di kawasan Islam sejak penghujung abad kedua Hijriah. Sebagai perkembangan lanjut dari ke-shaleh-an asketis (kesederhanaan) atau para zāhid yang mengelompok di serambi masjid Madinah.Dalam perjalanan kehidupan, kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi.Pola hidup ke-shaleh-an yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang dengan pesatnya.Fase ini dapat disebut sebagai fase asketisme dan merupakan fase pertama perkembangan tasawuf,yang ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keasyikan duniawi.Fase asketisme ini setidaknya sampai pada dua Hijriah dan memasuki abad tiga Hijriah sudah terlihat adanya peralihan konkrit dari asketisme Islam ke sufisme. Fase ini dapat disebut sebagai fase kedua, yang ditandai oleh antara lain peralihan sebutan zāhidmenjadi sufi. Di sisi lain, pada kurun waktu ini, percakapan para zāhid sudah sampai pada persoalan apa itu jiwa yang bersih, apa itu moral dan bagaimana metode pembinaannya dan perbincangan tentang masalah teoritis lainnya. Tindak lanjut dari perbincangan ini, maka bermunculanlah berbagai teori tentang jenjang-jenjang yang harus ditempun oleh seorang Sufi (al-maqāmat) serta ciri-ciri yang dimiliki oleh seorang sufi pada tingkat tertentu (al-hāl). Demikian juga pada periode ini sudah mulai berkembang pembahasan tentang al-ma’rifat serta perangkat metodenya sampai pada tingkat fana’ dan ijtihad. Bersamaan dengan itu, tampil pula para penulistasawuf, seperti al-Muhāsibi (w. 243 H), al-Kharraj (w. 277 H.), dan al-Junaid (w. 297 H.),[5] dan penulis lainya. Fase ini ditandai dengan munculnya dan berkembangnya ilmu baru dalam khazanah budaya Islam, yakni ilmu tasawuf yang tadinya hanya berupa pengetahuan praktis atau semacam langgam keberagamaan.Selama kurun waktu itutasawuf berkembang terus ke arah yang lebih spesifik, seperti konsep intuisi, al-kasyf, dandzawq. Kepesatan perkembangan tasawuf sebagai salah satu kultur ke-Islaman, nampaknya memperoleh infus atau motivasi dari tiga faktor. Infus ini kemudian memberikan gambaran tentang tipe gerakan yang muncul. Pertama: adalah karena corak kehidupan yang profan dan hidup kepelesiran yang diperagakan oleh ummat Islam terutama para pembesar dan para hartawan. Dari aspek ini, dorongan yang paling besar adalah sebagai reaksi dari sikap hidup yang sekuler dan gelamour dari kelompok elit dinasti penguasa di istana. Profes tersamar ini mereka lakukan dengan gaya murni etis, pendalaman kehidupan spiritual dengan motivasi etikal. Tokoh populer yang dapat mewakili aliran ini dapat ditunjuk Hasan al-Bahsri (w. 110 H) yang mempunyai pengaruh kuat dalam kesejarahan spiritual Islam, melalui doktrin al-zuhd dankhawf – al-raja’, rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H) dengan ajaran al-hubb atau mahabbahserta Ma’ruf al-Kharki (w. 200 H) dengan konsepsi al-syawq sebagai ajarannya.Nampaknya setidaknya pada awal munculnya, gerakan ini semacam gerakan sektarian yang interoversionis, pemisahan dari trend kehidupan, eksklusif dan tegas pendirian dalam upaya penyucian diri tanpa memperdulikan alam sekitar. Kedua: timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal kepada radikalisme kaum khawarijdan polarisasi politik yang ditimbulkannya. Kekerasan pergulakan politik pada masa itu, orang-orang yang ingin mempertahankan ke-shaleh-an dan ketenangan rohaniah, terpaksa mengambil sikap menjauhi kehidupan masyarakat ramai untuk menyepi dan sekaligus menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam pertentangan politik.Sikap yang demikian itu melahirkan ajaran ‘uzlah yang dipelopori oleh Surri al-Saqathi (w. 253 H).Apabila diukur dari kriteria sosiologi, nampaknya kelompok ini dapat dikategorikan sebagai gerakan “sempalan”, satu kelompok ummat yang sengaja mengambil sikap ‘uzlah kolektif yang cenderung ekslusif dan kritis tehadap penguasa. Dalam pandangan ini, kecenderungan memilih kehidupan rohaniah mistis, sepertinya merupakan pelarian, atau mencari konpensasi untuk menang dalam medan perjuangan duniawi. Ketika di dunia yang penuh tipu daya ini sudah kering dari siraman cinta sesama, mereka bangun dunia baru, realitas baru yang terbebas dari kekejaman dan keserakahan, dunia spiritual yang penuh dengan salju cinta. Faktor ketiga, tampaknya adalah karena corak kodifikasi hukum Islam dan perumusan ilmu kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etikal yang menyebabkan kehingan moralitasnya, menjadi semacam wahana tiada isi atau semacam bentuk tanpa jiwa.Formalitas faham keagamaan dirasakan semakin kering dan menyesakkan rūh al-dīn yang menyebabkan terputusnya komunikasi langsung suasana keakraban personal antara hamba dan penciptanya.Kondisi hukum dan teologis yang kering tanpa jiwa itu, karena dominannya posisi agama dalam agama, para zuhūdan tergugah untuk mencurahkan perhatian terhadap moralitas, sehingga memacu penggeseran seketisme ke-shaleh-an kepada tasawuf. Apabila dilihat dari sisi tasawuf sebagai ilmu, maka fase ini merupakan fase ketiga yang ditandai dengan dimulainya unsur-unsur di luar Islam berakulturasi dengan tasawuf. Ciri lain yang penting pada fase ini adalah timbulnya ketegangan antara kaum orthodoksdengan kelompok sufi berfaham ittihad di pihak lain. Akibat lanjut dari pembenturan pemikiran itu, maka sekitar akhir abad ketiga Hijriah tampil al-Karraj (w. 277 H) bersama al-Junaid (w. 297 H) menawarkan konsep-konseptasawuf yang kompromistis antara sufisme dan orthodoksi.Tujuan gerakan ini adalah untuk menjembatani atau bila dapat untuk mengintegrasikan antara kesadaran mistik dengan syariat Islam. Jasa mereka yang paling bernilai adalah lahirnya doktrin al-baqa’atau subsistensi sebagai imbangan dan legalitas al-fana’.hasil keseluruhan dari usaha pemaduan itu, doktrin sufi membuahkan sejumlah besar pasangan-pasangan kategori dengan tujuan memadukan kesadaran mistik dengan syari’ah sebagai suatu lembaga. Upaya tajdid itu mendapat sambutan luas dengan tampilnya penulis-penulis tasawuftipologi ini, seperti al-Sarraj dengan al-Luma,al-Kalabasi dengan al-Ta’arruf li Mazhāhib Ahl al-Tasawuf dan al-Qusyairi dengan al-Risālah. Sesudah masanya ketiga sufi ini, muncul jenis tasawuf yang berbeda, yaitu tasawufyang merupakan perpaduan antara sufisme dan filsafat sebagai hasil pikir Ibnu Masarrah (w. 381 H) dengan konsepsinya ma’rifat sejati, sebagai gabungan dari sufisme dan teoriemanasi Neo- Platonisme. Gagasan ini, sesudah masa al-Gazali dikembangkan oleh Suhrawardi al-Maqtūl (w. 578 H) dengan doktrin al-Isyrākiyah atau illuminasi. Gerakanorthodoksi sufisme mencapai puncaknya pada abad lima Hijriah memalui tokoh monumental al-Gazali (w. 503 H). Dengan upayanya mengikis semua ajaran tasawuf yang menurutnya tidak Islami. Sufisme hasil rekayasanya itu yang sudah merupakan corak baru, mendapat tempat yang terhormat dalam kesejahteraan pemikiran ummat Islam.Cara yang ditempuhnya untuk menyelesaikan pertikaian itu, adalah dengan penegasan bahwa ucapan ekstatik berasal dari orang arif yang sedang dalam kondisi sakr atau terkesima.Sebab dalam kenyataanya, kata al-Gazali, setelah mereka sadar mereka mengakui pula, bahwa kesatuan dengan Tuhan itu bukanlah kesatuan hakiki, tetapi kesatuan simbolistik. Pendekatan yang dilakukan oleh al-Gazali, nampaknya bagi satu pihak memberikan jaminan untuk mempetahankan prinsip bahwa Allah dan alam ciptaan-Nya adalah dua hal yang berbeda, sehingga satu sama lain tidak mungkin bersatu. Di pihak lain memberikan kelonggaran pula bagi para sufi untuk memasuki pengalaman-pengalaman ke-sufi-an puncak itu tanpa kekhawatiran dituduh kafir. Gambaran ini menunjukkan tasawufsebagai ilmu telah sampai ke fase kematangannya atau memasuki fase keempat, yang ditandai dengan timbulnya dua aliran tasawuf, yaitu tasawuf sunni dan tasawuf filsafati. C. Muncul dan Berkembangnya Tasawuf Kenapa gerakan tasawuf baru muncul paska era Shahabat dan Tabi\'in?Kenapa tidak muncul pada masa Nabi?Jawabnya, saat itu kondisinya tidak membutuhkan tasawuf.Perilaku umat masih sangat stabil.Sisi akal, jasmani dan ruhani yang menjadi garapan Islam masih dijalankan secara seimbang.Cara pandang hidupnya jauh dari budaya pragmatisme, materialisme dan hedonisme.Tasawuf sebagai nomenklatur sebuah perlawanan terhadap budaya materialisme belum ada, bahkan tidak dibutuhkan. Karena Nabi, para Shahabat dan para Tabi\'in pada hakikatnya sudah sufi: sebuah perilaku yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak meremehkannya. Selalu ingat pada Allah Swt sebagai sang Khaliq Ketika kekuasaan Islam makin meluas.Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan, mulailah orang-orang lalai pada sisi ruhani.Budaya hedonisme pun menjadi fenomena umum.Saat itulah timbul gerakan tasawuf (sekitar abad 2 Hijriah).Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup. Konon, menurut pengarangKasf adh-Dhunun, orang yang pertama kali dijuluki as-shufi adalah Abu Hasyim as-Shufi (w. 150 H) II. KESIMPULAN 1. Kata tasawuf mulai dipercakapkan sebagai satu istilah sekitar akhir abab dua Hijriah yang dikatkan dengan salah satu jenis pakaian kasar yang disebut shuff atau wool kasar. Namun dasar-dasar tasawuf sudak ada sejak datangnya agama Islam. Hal ini dapat diketahui dari kehidupan Nabi Muhammad saw. cara hidup beliau yang kemudian diteladani dan diteruskan oleh para sahabat. Selama periode Makkiyah, kesadaran spiritual Rasullah saw.. adalah berdasarkan atas pengalaman-pengalaman mistik yang jelas dan pasti, sebagaimana dilukiskan dalam Aquran surah al-Najm: 12-13 2. Kalau dalam pencarian akar kata tasawuf sebagai upaya awal untuk mendefenisikantasawuf, ternyata sulit untuk menarik satu kesimpulan yang tepat. DAFTAR PUSTAKA Fazlur Rahman. Islam. Diterjemahkan oleh Ahsin dengan judul Islam Bandung: Pustaka, 1984. Al-Iskandariah, Ibnu Athaillah Syekh ahamd ibn.Pengubah Abu Jihaduddin Rifqi al-Hanif dengan judul Mempertajam Mata Hati. t.t: Bintang Pelajar, 1990. _______, Ibnu Athaillah. al-Hikam. Diterjemahkan oleh Salim Bahreisy dengan judulTarjamah al-Hikmah. Cet. V; Surabaya: Balai Buku, 1984). al-Jaeliy, Al-Syekh Abd al-Karim ibn Ibrahim. Insan al-Kāmil fi Ma’rifat Awāliri wa al-Awā’il.Jilid II. Mesir: Syarikah Matba’ah Mustafa- Babil Halabi wa Alādih, 1375 H. al-Manawi, Mustafa Muhammad al-Allāmah. Faedul Qadīr. Jilid IV. Mesir: Sanabun Maktabah, 1357 H. Nicholson. The Mystic of Islam. London: Keqan Paul Ltd., 1966. Permadi, K. Pengantar Ilmu Tasawuf. Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997. Sahabuddin. Metode Mempelajari Ilmu Tasawuf, menurut Ulama Sufi Cet. II; Surabaya: Media Varia Ilmu, 1996. Siregar, H.A. Rivay. Tasawuf, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999. -o 0 o-

TASAWUF
(ASAL-USUL TASAWUF, MUNCUL DAN BERKEMBANGNYA TASAWUF)

A.  Pendahuluan
            Salah satu ilmu yang dapat membantu terwujudnya manusia yang berkualitas adalah ilmu Tasawuf.Ilmu tersebut satu mata rantai dengan ilmu-ilmu lainnya dengan pada sisi luar yang dhahir yang tak ubahnya jasad dan ruh yang tak dapat terpisah keduanya. Ilmu tersebut dinamakan juga ilmu bathin sebagaimana pendapat Syekh al-Manawi dalam kitab Faed al-Qadir dalam menjelaskan hadis Nabi :
العلم علمان فعلم في القلب فذالك علم النافع وعلم علي اللسان قذالك حجة الله علي ابن ادم (ش) والحكيم عن الحسن مرسلا (خط) عن جابر (ح) وكيل علم الباطن يخرج من القلب وعلم الظاهر يخرج من اللسان
‘Ilmu itu dua macam, ilmu yang ada dalam qalbu, itulah ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang diucapkan oleh lidah adalah ilmu hujjah/hukum, atas anak cucu Adam.Dari Abi Syaebah dan Hakim dari Hasan dan dikatakan Syekh al-Manawi bahwa ilmu bathin itu keluar dari qalbu dan ilmu dhahir itu keluar dari lidah.
            Bahwa ilmu bathin yang keluar dari qalbu itu adalah tasawuf, yang dikerjakan dan diamalkan oleh qalbu atau hati, dan ilmu dhahir yang keluar dari lidah adalah ilmu yang diucapkan oleh lidah dan diamalkan oleh jasad yang disebut juga ilmu syari’ah.
            Ilmu tersebut tidak dapat terpisah keduanya karena ilmu dhahir diucapkan dan digerakkan oleh tubuh/jasad dan ilmu bathin diamalkan oleh qalbu dan serentak pengamalannya bersamaan keduanya.Hal tersebut menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak dapat dipisahkan keduanya bahkan makin dalam ilmu Tasawuf seseorang itu semakin mendalam pula pengamalan syari’at-nya dan kewarasannya.Seorang Sufi sangat menjaga syari’at-nya dan bathin-nya, bahkan keluar masuk nafasnya dan khatar (kata hatinya) itu, juga dipeliharanya.
            Orang-orang yang memelihara nafasnya yakni keluar masuk atau turun naiknya nafas itu berbarengan dengan disertai dzikir rahasia melalui qalbu-nya, misalnya dzikirAllah ( الله ) misalnya pada saat itu nafasnya keluar/turun, dan dengan dzikir hua ( هو ) pada saat nafasnya masuk/naik, amalan seperti ini adalah amalan-amalan Sufi.
            Selama manusia itu bernafas, maka dzikir bathin tersebut dapat diamalkan baik di waktu duduk, berdiri, maupun berbaring, bahkan dalam kondisi bagaimanapun dzikir bathinitu dapat diamalkan.
            Manusia yang amalannya demikian tidak terpisah dengan Allah, sehingga sulit untuk melupakan Allah, apalagi berpikir berbuat dosa dan melanggar perintah Allah, karena tidak akan dapat berkumpul bersama-sama pada waktu bersamaan pada seseorang dalam qalbu-nya, nafasnya ber-dzikir kepada Allah, sementara jasadnya berbuat dosa. Tetapi yang pasti adalah ber-dzikir qalbu-nya dan diamalkan oleh jasadnya dan masuk sampai dalam sumsum tulang, atau dimensi dalam dan amalan cara itu pula yang disebut Tasawuf.
            Tasawuf sebagai sumsum tulang atau dimensi dalam, dari wahyu ke-Islaman, adalah upaya dalam yang luhur, dimana tauhid tercapai. Semua orang Islam yakin akan kesatuan sebagaimana terungkap di dalam syahadat.
            Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa Tasawuf adalah salah satu dari ilmu-ilmu ke-Islaman yang perlu untuk dikaji. Oleh karena itu, pada makalah ini akan diuraikan :
  1. Pengertian tasawuf ?
  2. Asal-usul kata tasawuf ?
  3. Bagaimana awal mula munculnya dan berkembangnya tasawuf  ?












BAB I

I.  PEMBAHASAN
A. Pengetian Tasawuf
            Arti tasawuf dan asal katanya menurut logat sebagaimana tersebut dalam bukuMempertajam Mata Hati (dalam melihat Allah). Menurut Syekh Ahmad ibn Athaillah yang diterjemahkan oleh Abu Jihaduddin Rafqi al-Hānif :
  1. Berasal dari kata suffah (صفة)= segolongan sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan dirinya di serambi masjid Nabawi, karena di serambi itu para sahabat selalu duduk bersama-sama Rasulullah untuk mendengarkan fatwa-fatwa beliau untuk disampaikan kepada orang lain yang belum menerima fatwa itu.
  2. Berasal dari kata sūfatun (صوفة)= bulu binatang, sebab orang yang memasuki tasawufitu memakai baju dari bulu binatang dan tidak senang memakai pakaian yang indah-indah sebagaimana yang dipakai oleh kebanyakan orang.
  3. Berasal dari kata sūuf al sufa’ (صوفة الصفا)= bulu yang terlembut, dengan dimaksud bahwa orang sufi itu bersifat lembut-lembut.
  4. Berasal dari kata safa’ (صفا)= suci bersih, lawan kotor. Karena orang-orang yang mengamalkan tasawuf itu, selalu suci bersih lahir dan bathin dan selalu meninggalkan perbuatan-perbuatan yang kotor yang dapat menyebabkan kemurkaan Allah.
            Pendapat tersebut di atas menjadi khilaf (perbedaan pendapat) para ulama, bahkan ada pendapat tidak menerima arti tasawuf dari makna logat atau asal kata.Menurut al-Syekh Abd.Wahid Yahya berkata: Banyak perbedaan pendapat mengenai kata”sufi” dan telah ditetapkan ketentuan yang bermacam-macam, tanpa ada satu pendapat yang lebih utama dari pendapat lainnya kerena semua itu bisa diterima.
            Pada hakekatnya, itu merupakan penamaan simbolis. Jika diinginkan keterangan selanjutnya, maka haruslah kembali pada jumlah bilangan pada huruf-hurufnya adalah sesuatu yang menakjubkan jika diperhatikan bahwa jumlah dari huruf sufi sama dengan jumlah“al-Hakim al-Ilahi”, maka seorang sufi yang hakiki ialah orang yang sudah mencapaihikmah Ilahi yaitu orang arif dengan Allah, karena pada hakekatnya bahwa Allah tidak dapat dikenal melainkan dengan-Nya (dengan pertolongan-Nya)
            Dengan pendapat para ahli tasawuf tentang arti tasawuf menurut bahasa tersebut di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa nama-nama dan istilah menurut bahasa adalah arti simbolik yang bermakna kebersihan dan kesucian untuk senantisa berhubungan dengan Allah.Untuk mencapai tingkat ma’rifat untuk menjadi manusia yang berkualitas lagi kamil.

B.  Asal Usul Tasawuf
            Dari beberapa keterangan, diketahui bahwa sesungguhnya pengenalan tasawufsudah ada dalam kehidupan Nabi saw., sahabat, dan tabi’in. Sebutan yang populer bagi tokoh agama sebelumnya adalah zāhidābid, dan nāsik, namun term tasawuf baru dikenal secara luas di kawasan Islam sejak penghujung abad kedua Hijriah. Sebagai perkembangan lanjut dari ke-shaleh-an asketis (kesederhanaan) atau para zāhid yang mengelompok di serambi masjid Madinah.Dalam perjalanan kehidupan, kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi.Pola hidup ke-shaleh-an yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang dengan pesatnya.Fase ini dapat disebut sebagai fase asketisme dan merupakan fase pertama perkembangan tasawuf,yang ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keasyikan duniawi.Fase asketisme ini setidaknya sampai pada dua Hijriah dan memasuki abad tiga Hijriah sudah terlihat adanya peralihan konkrit dari asketisme Islam ke sufisme. Fase ini dapat disebut sebagai fase kedua, yang ditandai oleh antara lain peralihan sebutan zāhidmenjadi sufi. Di sisi lain, pada kurun waktu ini, percakapan para zāhid sudah sampai pada persoalan apa itu jiwa yang bersih, apa itu moral dan bagaimana metode pembinaannya dan perbincangan tentang masalah teoritis lainnya.
            Tindak lanjut dari perbincangan ini, maka bermunculanlah berbagai teori tentang jenjang-jenjang yang harus ditempun oleh seorang Sufi (al-maqāmat) serta ciri-ciri yang dimiliki oleh seorang sufi pada tingkat tertentu (al-hāl). Demikian juga pada periode ini sudah mulai berkembang pembahasan tentang al-ma’rifat serta perangkat metodenya sampai pada tingkat fana’ dan ijtihad. Bersamaan dengan itu, tampil pula para penulistasawuf, seperti al-Muhāsibi (w. 243 H), al-Kharraj (w. 277 H.), dan al-Junaid (w. 297 H.),[5] dan penulis lainya. Fase ini ditandai dengan munculnya dan berkembangnya ilmu baru dalam khazanah budaya Islam, yakni ilmu tasawuf yang tadinya hanya berupa pengetahuan praktis atau semacam langgam keberagamaan.Selama kurun waktu itutasawuf berkembang terus ke arah yang lebih spesifik, seperti konsep intuisi, al-kasyf, dandzawq.
            Kepesatan perkembangan tasawuf sebagai salah satu kultur ke-Islaman, nampaknya memperoleh infus atau motivasi dari tiga faktor. Infus ini kemudian memberikan gambaran tentang tipe gerakan yang muncul.
Pertama: adalah karena corak kehidupan yang profan dan hidup kepelesiran yang diperagakan oleh ummat Islam terutama para pembesar dan para hartawan. Dari aspek ini, dorongan yang paling besar adalah sebagai reaksi dari sikap hidup yang sekuler dan gelamour dari kelompok elit dinasti penguasa di istana. Profes tersamar ini mereka lakukan dengan gaya murni etis, pendalaman kehidupan spiritual dengan motivasi etikal. Tokoh populer yang dapat mewakili aliran ini dapat ditunjuk Hasan al-Bahsri (w. 110 H) yang mempunyai pengaruh kuat dalam kesejarahan spiritual Islam, melalui doktrin al-zuhd dankhawf – al-raja’, rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H) dengan ajaran al-hubb atau mahabbahserta Ma’ruf al-Kharki (w. 200 H) dengan konsepsi al-syawq sebagai ajarannya.Nampaknya setidaknya pada awal munculnya, gerakan ini semacam gerakan sektarian yang interoversionis, pemisahan dari trend kehidupan, eksklusif dan tegas pendirian dalam upaya penyucian diri tanpa memperdulikan alam sekitar.
Kedua: timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal kepada radikalisme kaum khawarijdan polarisasi politik yang ditimbulkannya. Kekerasan pergulakan politik pada masa itu, orang-orang yang ingin mempertahankan ke-shaleh-an dan ketenangan rohaniah, terpaksa mengambil sikap menjauhi kehidupan masyarakat ramai untuk menyepi dan sekaligus menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam pertentangan politik.Sikap yang demikian itu melahirkan ajaran ‘uzlah yang dipelopori oleh Surri al-Saqathi (w. 253 H).Apabila diukur dari kriteria sosiologi, nampaknya kelompok ini dapat dikategorikan sebagai gerakan “sempalan”, satu kelompok ummat yang sengaja mengambil sikap ‘uzlah kolektif yang cenderung ekslusif dan kritis tehadap penguasa.
            Dalam pandangan ini, kecenderungan memilih kehidupan rohaniah mistis, sepertinya merupakan pelarian, atau mencari konpensasi untuk menang dalam medan perjuangan duniawi. Ketika di dunia yang penuh tipu daya ini sudah kering dari siraman cinta sesama, mereka bangun dunia baru, realitas baru yang terbebas dari kekejaman dan keserakahan, dunia spiritual yang penuh dengan salju cinta.
Faktor ketiga, tampaknya adalah karena corak kodifikasi hukum Islam dan perumusan ilmu kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etikal yang menyebabkan kehingan moralitasnya, menjadi semacam wahana tiada isi atau semacam bentuk tanpa jiwa.Formalitas faham keagamaan dirasakan semakin kering dan menyesakkan rūh al-dīn yang menyebabkan terputusnya komunikasi langsung suasana keakraban personal antara hamba dan penciptanya.Kondisi hukum dan teologis yang kering tanpa jiwa itu, karena dominannya posisi agama dalam agama, para zuhūdan tergugah untuk mencurahkan perhatian terhadap moralitas, sehingga memacu penggeseran seketisme ke-shaleh-an kepada tasawuf.
            Apabila dilihat dari sisi tasawuf sebagai ilmu, maka fase ini merupakan fase ketiga yang ditandai dengan dimulainya unsur-unsur di luar Islam berakulturasi dengan tasawuf. Ciri lain yang penting pada fase ini adalah timbulnya ketegangan antara kaum orthodoksdengan kelompok sufi berfaham ittihad di pihak lain.
            Akibat lanjut dari pembenturan pemikiran itu, maka sekitar akhir abad ketiga Hijriah tampil al-Karraj (w. 277 H) bersama al-Junaid (w. 297 H) menawarkan konsep-konseptasawuf yang kompromistis antara sufisme dan orthodoksi.Tujuan gerakan ini adalah untuk menjembatani atau bila dapat untuk mengintegrasikan antara kesadaran mistik dengan syariat Islam. Jasa mereka yang paling bernilai adalah lahirnya doktrin al-baqa’atau subsistensi sebagai imbangan dan legalitas al-fana’.hasil keseluruhan dari usaha pemaduan itu, doktrin sufi membuahkan sejumlah besar pasangan-pasangan kategori dengan tujuan memadukan kesadaran mistik dengan syari’ah sebagai suatu lembaga. Upaya tajdid itu mendapat sambutan luas dengan tampilnya penulis-penulis tasawuftipologi ini, seperti al-Sarraj dengan al-Luma,al-Kalabasi dengan al-Ta’arruf li Mazhāhib Ahl al-Tasawuf dan al-Qusyairi dengan al-Risālah.
            Sesudah masanya ketiga sufi ini, muncul jenis tasawuf yang berbeda, yaitu tasawufyang merupakan perpaduan antara sufisme dan filsafat sebagai hasil pikir Ibnu Masarrah (w. 381 H) dengan konsepsinya ma’rifat sejati, sebagai gabungan dari sufisme dan teoriemanasi Neo- Platonisme. Gagasan ini, sesudah masa al-Gazali dikembangkan oleh Suhrawardi al-Maqtūl (w. 578 H) dengan doktrin al-Isyrākiyah atau illuminasi. Gerakanorthodoksi sufisme mencapai puncaknya pada abad lima Hijriah memalui tokoh monumental al-Gazali (w. 503 H). Dengan upayanya mengikis semua ajaran tasawuf yang menurutnya tidak Islami. Sufisme hasil rekayasanya itu yang sudah merupakan corak baru, mendapat tempat yang terhormat dalam kesejahteraan pemikiran ummat Islam.Cara yang ditempuhnya untuk menyelesaikan pertikaian itu, adalah dengan penegasan bahwa ucapan ekstatik berasal dari orang arif yang sedang dalam kondisi sakr atau terkesima.Sebab dalam kenyataanya, kata al-Gazali, setelah mereka sadar mereka mengakui pula, bahwa kesatuan dengan Tuhan itu bukanlah kesatuan hakiki, tetapi kesatuan simbolistik.
            Pendekatan yang dilakukan oleh al-Gazali, nampaknya bagi satu pihak memberikan jaminan untuk mempetahankan prinsip bahwa Allah dan alam ciptaan-Nya adalah dua hal yang berbeda, sehingga satu sama lain tidak mungkin bersatu. Di pihak lain memberikan kelonggaran pula bagi para sufi untuk memasuki pengalaman-pengalaman ke-sufi-an puncak itu tanpa kekhawatiran dituduh kafir. Gambaran ini menunjukkan tasawufsebagai ilmu telah sampai ke fase kematangannya atau memasuki fase keempat, yang ditandai dengan timbulnya dua aliran tasawuf, yaitu tasawuf sunni dan tasawuf filsafati. 
        
C. Muncul dan Berkembangnya Tasawuf
            Kenapa gerakan tasawuf baru muncul paska era Shahabat dan Tabi\'in?Kenapa tidak muncul pada masa Nabi?Jawabnya, saat itu kondisinya tidak membutuhkan tasawuf.Perilaku umat masih sangat stabil.Sisi akal, jasmani dan ruhani yang menjadi garapan Islam masih dijalankan secara seimbang.Cara pandang hidupnya jauh dari budaya pragmatisme, materialisme dan hedonisme.Tasawuf sebagai nomenklatur sebuah perlawanan terhadap budaya materialisme belum ada, bahkan tidak dibutuhkan. Karena Nabi, para Shahabat dan para Tabi\'in pada hakikatnya sudah sufi: sebuah perilaku yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak meremehkannya. Selalu ingat pada Allah Swt sebagai sang Khaliq
            Ketika kekuasaan Islam makin meluas.Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan, mulailah orang-orang lalai pada sisi ruhani.Budaya hedonisme pun menjadi fenomena umum.Saat itulah timbul gerakan tasawuf (sekitar abad 2 Hijriah).Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup. Konon, menurut pengarangKasf adh-Dhunun, orang yang pertama kali dijuluki as-shufi adalah Abu Hasyim as-Shufi (w. 150 H)

II.  KESIMPULAN
  1. Kata tasawuf mulai dipercakapkan sebagai satu istilah sekitar akhir abab dua Hijriah yang dikatkan dengan salah satu jenis pakaian kasar yang disebut shuff atau wool kasar. Namun dasar-dasar tasawuf sudak ada sejak datangnya agama Islam. Hal ini dapat diketahui dari kehidupan Nabi Muhammad saw. cara hidup beliau yang kemudian diteladani dan diteruskan oleh para sahabat. Selama periode Makkiyah, kesadaran spiritual Rasullah saw.. adalah berdasarkan atas pengalaman-pengalaman  mistik yang jelas dan pasti, sebagaimana dilukiskan dalam Aquran surah al-Najm: 12-13
  2. Kalau dalam pencarian akar kata tasawuf sebagai upaya awal untuk mendefenisikantasawuf, ternyata sulit untuk menarik satu kesimpulan yang tepat.
  








DAFTAR  PUSTAKA

Fazlur Rahman. Islam. Diterjemahkan oleh Ahsin dengan judul Islam Bandung: Pustaka, 1984.
Al-Iskandariah, Ibnu Athaillah Syekh ahamd ibn.Pengubah Abu Jihaduddin Rifqi al-Hanif dengan judul Mempertajam Mata Hati. t.t: Bintang Pelajar, 1990.
_______, Ibnu Athaillah. al-Hikam. Diterjemahkan oleh Salim Bahreisy dengan judulTarjamah al-Hikmah. Cet. V; Surabaya: Balai Buku, 1984).
al-Jaeliy, Al-Syekh Abd al-Karim ibn Ibrahim. Insan al-Kāmil fi Ma’rifat Awāliri wa al-Awā’il.Jilid II. Mesir: Syarikah Matba’ah Mustafa- Babil Halabi wa Alādih, 1375 H.
al-Manawi, Mustafa Muhammad al-Allāmah. Faedul Qadīr. Jilid IV. Mesir: Sanabun Maktabah, 1357 H.
Nicholson. The Mystic of Islam. London: Keqan Paul Ltd., 1966.
Permadi, K. Pengantar Ilmu Tasawuf. Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Sahabuddin. Metode Mempelajari Ilmu Tasawuf, menurut Ulama Sufi Cet. II; Surabaya: Media Varia Ilmu, 1996.
Siregar, H.A. Rivay. Tasawuf, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
-o 0 o-