Qira’at
Selain itu, ilmu
ini juga cukup rumit untuk dipelajari, banyak hal yang harus diketahui oleh
peminat ilmu qira’at ini, yang terpenting adalah pengenalan al-Qur’an secara
mendalam dalam banyak seginya, bahkan hafal sebagian besar dari ayat-ayat
al-Qur’an merupakan salah satu kunci memasuki gerbang ilmu ini, pengetahuan
bahasa arab yang mendalam dan luas dalam berbagai seginya, juga merupakan alat
pokok dalam menggeluti ilmu ini, pengenalan berbagai macam qiraat dan para
perawinya adalah hal yang mutlak bagi pengkaji ilmu ini.
Meskipun demikian
keadaannya, ilmu ini telah sangat berjasa dalam menggali, menjaga dan
mengajarkan berbagai “cara membaca” al-Qur’an yang benar sesuai dengan yang
telah diajarkan Rasulullah SAW. Para
ahli qiraat telah mencurahkan segala kemampuannya demi mengembangkan ilmu
ini. Ketelitian dan kehati-hatian mereka telah menjadikan al-Qur’an terjaga
dari adanya kemungkinan penyelewengan dan masuknya unsur-unsur asing yang dapat
merusak kemurnian al-Qur’an. Tulisan singkat ini akan memaparkan secara global
tentang ilmu Qira’at al-Qur’an dapat juga dikatakan sebagai pengenalan awal terhadap Ilmu Qira’at al-Qur’an.
QIRAAT AL - QUR’AN
Qiraat
menurut bahasa adalah jama’ dari kata qiraah, yang berarti ‘bacaan’, dan ia
adalah mashdar (verbal noun) dari kata qaraa. Menurut istilah ilmiah, qiraat
adalah salah satu madzhab (aliran) pengucapan Al Qur’an yang dipilih oleh salah
seorang imam qurra’ sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan yang lain.
Qiraat
ini ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah. Periode
qurra’ (ahli atau imam qiraat) yang mengajarkan bacaan qur’an kepada
orang-orang menurut cara mereka masing-masing adalah dengan berpedoman kepada
masa para sahabat. Diantara sahabat yang terkenal mengajarkan qiraat ialah
Ubai, Ali, Zaid bin Tsabit, Ibn Mas’ud, Abu Musa Al Asy’ary dan lain-lain. Dari
mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi’in di berbagai negeri belajar
qiraat. Mereka itu semuanya bersandar kepada Rasulullah.
Pada
permulaan abad pertama hijrah di masa tabi’in, tampillah sejumlah ulama yang
membulatkan tenaga dan perhatiannya terhadap masalah qiraat secara sempurna karena
keadaan yang menuntut demikian, dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu
yang berdiri sendiri sebagaiman yang mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syari’at
lainnya, sehingga mereka menjadi imam dan ahli qiraat yang diikuti dan
dipercaya. Bahkan dari generasi ini dan generasi sesudahnya terdapat tujuh
orang terkenal sebagai imam yang kepada merekalah dihubungkan (dinisbahkan)
qiraat hingga saat ini. Ketujuh orang imam yang terkenal sebagai ahli qiraat di
seluruh dunia di antara nama-nama tersebut ialah Abu Amr, Nafi’, ‘Asim, Hamzah,
Al Kisa’i, Ibn ‘Amir dan Ibn Katsir.
Qiraat-qiraat
itu bukanlah merupakan qiraat tujuh huruf (lahjah). Sebab qiraat-qiraat hanya
merupakan madzhab bacaan qur’an para imam, yang secara ijma’ masih tetap eksis
dan digunakan umat hingga kini, dan sumbernya adalah perbedaan langgam, cara
pengucapan dan sifatnya, seperti tafkhim, tarqiq, imalah, idgham, idzhar,
isyba’ madd, qashr, tasydid, takhfif dan lain sebagainya. Namun semua itu
hanya berkisar dalam satu huruf, yaitu huruf Quraisy.
Sedangkan
maksud tujuh huruf adalah berbeda dengan qiraat, seperti yang telah di
jelaskan. Dan persoalannya sudah berakhir sampai pada masa pembacaan terakhir
(al Urdah al Akhirah), yaitu ketika wilayah ekspansi bertambah luas dan
ikhtilaf tentang huruf-huruf itu menjadi kekhawatiran bagi timbulnya fitnah dan
kerusakan, sehingga para sahabat pada masa Utsman terdorong untuk mempersatukan
umat Islam pada satu huruf, yaitu huruf Quraisy, dan menuliskan mushaf-mushaf
dengan huruf tersebut.
Pembagian Qira’at dan Macam-macamnya
1.
Qira’at Mutawatir
Qira’at Mutawatir
adalah qira’at yang diriwayatkan oleh orang banyak dari banyak orang yang tidak
mungkin terjadi kesepakatan diantara mereka untuk berbuat
kebohongan.
Contoh untuk
qira’at mutawatir ini ialah qira’at yang telah disepakati jalan perawiannya
dari imam Qiraat Sab’ah.
2. Qira’at Masyhur
Qira’at Masyhur
adalah qira’at yang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW.
Diriwayatkan oleh beberapa orang yang adil dan kuat hafalannya, serta qira’at
-nya sesuai dengan salah satu rasam Usmani baik qira’at itu dari para imam
qira’at sab’ah, atau imam Qira’at ’asyarah ataupun imam-imam lain yang
dapat diterima qira’at -nya dan dikenal di kalangan ahli qira’at bahwa qira’at
itu tidak salah dan tidak syadz, hanya saja derajatnya tidak sampai kepada
derajat Mutawatir.
Misalnya ialah
qira’at yang diperselisihkan perawiannya dari imam qira’at Sab’ah, dimana
sebagian ulama mengatakan bahwa qira’at itu dirawikan dari salah satu imam qira’at
Sab’ah dan sebagian lagi mengatakan bukan dari mereka.
Dua macam qira’at di atas, yaitu qira’at
Mutawatir dan qira’at Masyhur, dipakai untuk membaca al-Qur’an, baik dalam
shalat maupun diluar shalat, dan wajib meyakini ke-Qur’an-annya serta tidak
boleh mengingkarinya sedikitpun.
3. Q ira’at Ahad
Qira’at Ahad
adalah qiraat yang sanadnya bersih dari cacat tetapi menyalahi rasam Utsmani
dan tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Juga tidak terkenal di kalangan
imam qiraat.
Qira’at Ahad
ini tidak boleh dipakai untuk membaca al-Qur’an dan tidak wajib meyakininya
sebagai al-Qur’an.
4. Qira’at Syadzah
Qira’at Syazah adalah qira’at yang cacat sanadnya dan
tidak bersambung sampai kepada Rasulullah SAW.
5.
Qira’at Maudlu’
Qira’at Maudu’
adalah qira’at yang dibuat-buat dan disandarkan kepada seseorang tanpa
mempunyai dasar periwayatan sama sekali.
6.
Qira’at Syabih bil Mudraj
Qiraat Sabih bil
Mudraj adalah qira’at yang menyerupai kelompok Mudraj dalam hadis, yakni qira’at
yang telah memperoleh sisipan atau tambahan kalimat yang merupakan tafsir dari
ayat tersebut.
Manfaat
Perbedaan Qira’at
Adanya bermacam-macam qiraat seperti telah disebutkan di
atas, mempunyai berbagai manfaat, yaitu :
1. Meringankan umat Islam dan
memudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an. Keringanan ini sangat dirasakan
khususnya oleh penduduk Arab pada masa awal diturunkannya al-Qur’an, dimana
mereka terdiri dari berbagai kabilah dan suku yang diantara mereka banyak
terdapat perbedaan logat, tekanan suara dan sebagainya. Meskipun sama-sama
berbahasa Arab. Sekiranya al-Qur’an itu diturunkan dalam satu qiraat saja maka
tentunya akan memberatkan suku-suku lain yang berbeda bahasanya dengan
al-Qur’an.
2. Menunjukkan betapa
terjaganya dan terpeliharanya al-Qur’an dari perubahan dan penyimpangan, padahal
kitab ini mempunyai banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
3. Dapat menjelaskan hal-hal
mungkin masih global atau samar dalam qiraat yang lain, baik qira’at itu
Mutawatir, Masyhur ataupun Syadz. Misalnya qira’at Syadz yang menyalahi rasam
mushaf Usmani dalam lafaz dan makna tetapi dapat membantu penafsiran, yaitu
lafaz (فامضوا) sebagai ganti dari
lafaz (فَاسْعَوْا) pada Q.S. al-Jumu’ah
(62): 9. Yang dimaksud dengan (فَاسْعَوْا) di sini adalah bukan
berjalan cepat-cepat dan tergesa-gesa, tetapi bersegera pergi ke masjid dan
berjalan dengan tenang.
4. Bukti kemukjizatan al-Qur’an
dari segi kepadatan maknanya, karena setiap qiraat menunjukkan suatu hukum syar’i
tertentu tanpa perlu adanya pengulangan lafaz.
5. Meluruskan aqidah sebagian
orang yang salah, misalnya dalam penafsiran tentang sifat-sifat surga dan
penghuninya dalam Q.S. al-Insan (76): 20.
وإذا رأيت ثَمّ رأيت نعيماً و مُلْكًا كبيراً
Dalam qira’at lain
dibaca (مَلِكًا) dengan memfathahkan mim dan mengkasrahkan
lam, sehingga qira’at ini menjelaskan qira’at pertama bahwa orang-orang mukmin
akan melihat wajah Allah di akhirat nanti.
Syarat-Syarat
Sahnya Qiraat
1.
Sesuai dengan salah satu kaidah
bahasa Arab.
2.
Sesuai dengan tulisan pada salah
satu mushaf Usmani, walaupun hanya tersirat.
3.
Shahih sanadnya.
Yang dimaksud
dengan “sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab“ ialah: tidak menyalahi
salah satu segi dari segi-segi qawa’id bahasa Arab, baik bahasa Arab yang
paling fasih ataupun sekedar fasih, atau berbeda sedikit tetapi tidak
mempengaruhi maknanya. Yang lebih dijadikan pegangan adalah qira’at yang
telah tersebar secara luas dan diterima para imam dengan sanad yang shahih.
Sementara yang
dimaksud dengan “sesuai dengan salah satu tulisan pada mushaf Usmani” adalah
sesuainya qiraat itu dengan tulisan pada salah satu mushaf yang ditulis oleh
panitia yang dibentuk oleh Usman bin ‘Affan dan dikirimkannya ke kota-kota
besar Islam pada masa itu.
Mengenai maksud dari “shahih sanadnya” ini ulama berbeda
pendapat. Sebagian menganggap cukup dengan shahih saja, sebagian yang lain
mensyaratkan harus mutawatir.
Pengaruh
Qira’at Terhadap Istimbat Hukum
Dalam hal istimbat hukum, qiraat dapat membantu menetapkan
hukum secara lebih jeli dan cermat. Perbedaan qiraat al-Qur'an yang
berkaitan dengan substansi lafaz atau kalimat, adakalanya mempengaruhi makna
dari lafaz tersebut adakalanya tidak. Dengan demikian, maka perbedaan
qiraat al-Qur'an adakalanya berpengaruh terhadap istimbat hukum, dan adakalanya
tidak.
1.
Perbedaan qira’at yang berpengaruh terhadap istinbat Hukum.
Qira’at shahihah (Mutawatir
dan Masyhur) bisa dijadikan sebagai tafsir dan penjelas serta dasar penetapan
hukum, misalnya qira’at ( لامَسْتُمْ )
membantu penafsiran dalam menetapkan hal-hal yang membatalkan wudu seperti
dalam Q.S Al-Nisa’ (4): 43.
Terjemahnya:
"….. Dan jika kamu sakit atau sedang
dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh
perempuan, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu dengan
tanah yang baik (suci): sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun".
Ada perbedaan cara
membaca pada lafaz (لَامَسْتُمْ
النِّسَاءَ) salah satu golongan membaca (لَامَسْتُمْ
النِّسَاءَ) sedangkan golongan yang lainnya membaca (لمَسْتُمْ النِّسَاءَ).
Para ulama berbeda
pendapat tentang makna dari qira’at (لامَسْتُمْ), ada tiga versi pendapat ulama mengenai
makna (لامَسْتُمْ), yaitu: bersetubuh, bersentuh, dan bersentuh
serta bersetubuh.
Para ulama juga
berbeda pendapat tentang maksud dari (لامَسْتُمْ). Ibn Abbas, al-Hasan, Mujahid, Qatadah
dan Abu Hanifah berpendapat bahwa maksudya adalah: bersetubuh. Sementara itu,
Ibn Mas'ud, Ibn Abbas, al-Nakha'i dan Imam Syafi'i berpendapat, bahwa yang
dimaksud adalah: bersentuh kulit baik dalam bentuk persetubuhan atau dalam
bentuk lainnya.
Pendapat lain menyatakan bahwa pendapat yang kuat adalah yang
berarti bersentuhan kulit. Pendapat ini dikuatkan oleh al-Razi yang menyatakan
bahwa kata al-lums (اللمس) dalam qira’at (لمستم), makna hakikinya adalah
menyentuh dengan tangan. Ia menegaskan bahwa bahwa pada dasarnya suatu lafaz
harus diartikan dengan pengertian hakikinya. Sementara itu, kata al-mulamasat (الملامسات) dalam qira’at (لمستم), makna hakikinya adalah saling menyentuh, dan
bukan berarti bersetubuh.
2.
Perbedaan Qiraat yang Tidak Berpengaruh
terhadap Istinbat Hukum
Berikut ini adalah
contoh dari adanya perbedaan qira’at tetapi tidak berpengaruh terhadap
istimbath hukum, yaitu pada Q.S. al-Ahzab (33): 49.
Terjemahnya:
"Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka
iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka
mut'ah, dan lepaskanlah mereka itu dengan cara sebaik-baiknya."
Ayat di atas
menjelaskan, bahwa seorang istri yanng diceraikan oleh suaminya dalam keadaan
belum disetubuhi, maka tidak ada masa iddah baginya. Masa iddah adalah masa
menunggu bagi seorang wanita yang diceraikan suaminya, sebelum wanita tersebut
dibolehkan kawin lagi dengan laki-laki lain.
Berkenaan dengan
ayat di atas, Hamzah dan al-Kisa'I, membacanya dengan (قَبْلِ مِنْ أَنْ تَمآسُّوهُنَّ), sementara Ibn Kasir, Abu 'Amer, Ibn
'Ashim, dan Nafi' membaca: (مِنْ قَبْلِ
أَنْ تَمَسُّوهُنَّ). Perbedaan bacaan tersebut tidak
menimbulkan perbedaan maksud atau ketentuan hukum yang terkandung di dalamnya.
3.
Pemakaian Qira’at Syaz dalam Istinbat Hukum
Tidak hanya
qira’at mutawatir dan masyhur yang dapat dipergunakan untuk menggali
hukum-hukum syar’iyah, bahkan qira’at Syaz juga boleh dipakai untuk membantu
menetapkan hukum syar’iyah. Hal itu dengan pertimbangan bahwa qira’at
Syaz itu sama kedudukannya dengan hadis Ahad (setingkat di bawah Mutawatir),
dan mengamalkan hadis Ahad adalah boleh. Ini merupakan pendapat Jumhur ulama.
Ulama mazhab
Syafi’i tidak menerima dan tidak menjadikan Qiraat Syaz sebagai dasar
penetapan hukum dengan alasan bahwa Qira`at Syaz tidak termasuk al-Qur’an.
Pendapat ini dibantah oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa dengan menolak
Qira’at Syaz sebagai al-Qur’an tidak berarti sekaligus menolak Qira’at Syaz
sebagai Khabar (Hadis). Jadi, paling tidak Qiraat Syaz tersebut merupakan Hadis
Ahad.
Contoh penggunaan
Qira’at Syaz sebagai dasar hukum adalah sebagai berikut :
1. Memotong tangan kanan pencuri,
berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas’ud dalam surat al-Maidah ayat 38, yang berbunyi :
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْمانيَهُمَا
Artinya:
Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan kanan keduanya…..
Dalam Qiraat yang shahihah ayat tersebut berbunyi :
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
2. Mazhab Hanafi mewajibkan puasa tiga hari
berturut-turut sebagai kafarah sumpah, juga berdasarkan kepada qiraat Ibn
Mas’ud dalam surat
al-Maidah ayat 89, yang berbunyi:
فَمَنْ لَمْ يَجِد
فَصِيَام ثَلَاثَةِ أَيَّام متتابعات ٍ
Artinya :
………. Barangsiapa tidak sanggup melakukan demikian, maka
kafaratnya puasa selama tiga hari berturut-turut ….
Dalam qira’at yang shahihah ayat tersebut berbunyi :
فَمَنْ لَمْ يَجِد
فَصِيَام ثَلَاثَةِ أَيَّام
Sya’ban Muhammad
Ismail, mengutip pernyataan Abu ‘Ubaid, menyatakan bahwa tujuan sebenarnya dari
Qiraat Syaz adalah merupakan Tafsir dari qiraat shahih (masyhur) dan penjelasan
mengenai dirinya. Huruf-huruf tersebut harakatnya (lafaz Qira’at Syaz
tersebut) menjadi tafsir bagi ayat al-Qur’an pada tempat tersebut. Hal yang
demikian ini, yaitu tafsir mengenai ayat-ayat tersebut, pernah dikemukakan oleh
para Tabi’in, dan ini merupakan hal yang sangat baik.
Pendapat ini
diperkuat dengan pernyataan al-Suyuti, sebagai berikut : “Jika penafsiran itu
dikemukakan oleh sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang benar, yang kemudian
menjadi bagian dari qiraat al-Qur’an itu sendiri, tentu tafsir ini lebih tinggi
nilainya dan lebih kuat.
Qari` tujuh yang masyhur
Semua qira’at yang
mutawatir dikutip dari para qari’ yang hafal Al-Qur’an dan terkenal dengan
hafalan serta ketelitiannyamereka adalah imam-imam qira’at yang masyhur yang
menyampaikan qiraa’at kepada kita sesuai dengan yang mereka terima dari sahabat
RasulSAW. Dan tujuh orang yang masyhur diantaranya adalah :
1. Ibnu Amir
Nama lengkapnnya adalah Abdullah Al-Yashubi, seorang qadli di Damaskus pada
masa pemerintahan Al Walid bin Abdul Malik. Panggilannya adalah Abu Imran. Dia
seorang tabi’in, belajar qira’at dari Al-Mughirah bin Abi Syihab Al-Mahzumi
yang mana Al-Mughirah belajar dari Usman bin Affan dan kemudian dari Rasulullah
SAW. Ia wafat di Damaskus pada tahun 118 H. Orang yang menjadi muridnya dalam
qira’at adalah Hisyam dan Ibnu Dzakwan.
2. Ibnu Katsir
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdullah Ibnu Katsir Ad-Dari Al-Makki.
Ia adalah imam dalam hal qira’at di Makkah. Ia adalah seorang tabi’in yang pernah
hidup bersama Abdullah Ibnu Jubair, Abu Ayyub Al-Anshari dan Anas bin Malik. Ia
wafat di Makkah pada tahun 120 H. Perawinya dan peserusnya adalah Al-Bazi (wafat
pada tahun 250 H) dan Qunbul (wafat pada tahun 291 H)
3. Ashim Al-Kufi
Nama lengkapnya adalah ‘Ashim bin Abu
al-Nujud. Ada
yang mengatakan bahwa nama ayahnya adalah Abdullah, sedang Abu al-Nujud adalah
nama panggilannya. Nama panggilan ‘Ashim sendiri adalah Abu Bakar , ia
masih tergolong Tabi’in. Beliau wafat pada tahun 127 H. Di antara para muridnya yang menjadi perawi qiraatnya yang terkenal
adalah Syu’bah (w.193 H) dan Hafs (w. 180H).
4. Abu Amr
Nama lengkapnya Zabban bin ‘Alla’ bin
‘Ammar bin ‘Aryan al-Mazani at-Tamimi al-Bashr. Ada yang mengatakan bahwa namanya adalah
Yahya. Beliau adalah imam Bashrah sekaligus ahli qiraat Bashrah. Beliau lahir
di Mekkah tahun 70 H, besar di Bashrah, kemudian bersama ayahnya berangkat ke
Makkah dan Madinah. Wafat di Kufah pada tahun 154 H. Beliau belajar qira’at dari Abu Ja’far, Syaibah bin Nasah, Nafi’
bin Abu Nu’aim, Abdullah ibn Kasir, ‘Ashim bin Abu al-Nujud dan Abu al-‘aliyah.
Abu al-‘Aliyah menerimanya dari Umar bin Khattab, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin
Sabit dan Abdullah bin Abbas. Keempat Sahabat ini menerima qira’at langsung
dari Rasulullah SAW.
5. Hamzah Al-Kufi
Nama lengkapnya adalah Hamzah bin Habib
bin ‘Ammarah bin Ismail al-Kufi. Beliau adalah imam qiraat di Kufah setelah
Imam ‘Ashim. Lahir pada tahun 80 H., wafat pada tahun 156 H di Halwan, suatu
kota di Iraq.Beliau belajar dan mengambil qiraat dari Abu Hamzah Hamran bin
A’yun, Abu Ishaq ‘Amr bin Abdullah al-Sabi’I, Muhammad bin Abdurrahman bin Abu
Ya’la, Abu Muhammad Talhah bin Mashraf al-Yamani dan Abu Abdullah Ja’far
al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainul ‘Abidin bin Husein bin Ali bin Abi
Thalib serta Abdullah bin Mas’ud dari Rasulullah SAW. Di antara para muridnya
yang menjadi perawi qira’at -nya yang terkenal adalah Khalaf (w. 150 H)
dan Khallad (w. 229 H).
6. Imam Nafi’
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim
al-Laitsi, maula Ja’unah bin Syu’ub al-Laitsi. Berasal dari Isfahan. Wafat di
Madinah pada tahun 177 H.Ia mempelajari qira’at dari Abu Ja’far Yazid bin
Qa’qa’, Abdurrahman bin Hurmuz, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin ‘Iyasy bin Abi
Rabi’ah al-Makhzumi; mereka semua menerima qiraat yang mereka ajarkan dari Ubay
bin Ka’ab dari Rasulullah.
7. Al-Kisa’i
Nama lengkapnya adalah Ali bin Hamzah bin Abdullah bin Usman
al-Nahwi. Nama panggilannya Abul Hasan dan ia bergelar Kisa’i karena ia mulai
melakukan ihram di Kisaa’i. Beliau wafat pada tahun 189 H.Beliau mengambil
qira’at dari banyak ulama. Diantaranya adalah Hamzah bin Habib al-Zayyat,
Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Laia, ‘Ashim bin Abun Nujud, Abu Bakar
bin’Ilyasy dan Ismail bin Ja’far yang menerimanya dari Syaibah bin Nashah (guru
Imam Nafi’ al-Madani), mereka semua mempunyai sanad yang bersambung kepada
Rasulullah SAW.
PUSTAKA
·
Manna Khalil al – Qattan, Studi
ilmu-ilmu Qur`an, Jakarta ,
PT. Litera Antar Nusa, 1994.
·
Prof. dr. Muhammad Ali
Ash-Shaabuniy, Studi ilmu Al Qur`an, Bandung , Pustaka Setia, 1998.
·
http://uin-suka.info/ejurnal/index.php?option=com_content&task=view&id=29&Itemid=28
No comments:
Post a Comment