Wednesday, 21 January 2015

tafsir ta'wil dan tarjamah


TAFSIR, TA’WIL DAN TARJAMAH



BAB I


Tafsir secara bahasa mengikuti wazan ”taf`íl”, berasal dari asal kata al-Fashr (f, s, r) yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan ”daraba – yadribu” dan ”nasara-yansuru”. Dikatakan ”fasara (asy-syai`a) yafsiru”dan ”yafsuru, fasran”, dan ”fassarahu”, artinya ”abanahu” (menjelaskannya). Kata at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam lisanul `Arab dinyatakan: kata kata ”al-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata ”at-tafsir” berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafadz yang musykil, pelik.
 Dalam al-Qur`an dinyatakan: (Tidaklah mereka datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan paling baik tafsir-nya) (al-Furqan : 33).
Maksudnya: setiap kali mereka datang kepada nabi Muhammad s.a.w membawa suatu hal yang aneh berupa usul dan kecaman, Allah menolaknya dengan suatu yang benar dan nyata. Dalam al-Qur`an dinyatakan:
”Suatu ilmu yg di dalamnya dibahas tentang cara-cara menyebut lafal Al Qur-an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, baik secara ifrat, maupun secara tarkib dan makna-maknanya yg ditampung oleh tarkib dan yg selain itu, seperti mengetahui nasakh, sebab nuzul, dan sesuatu yg menjelaskan pengertian seperti kisah dan matsal (perumpamaan).”
Dalam pengertian istilah ahli tafsir, ada beberapa macam maknanya: Golongan mutaqoddimin memaknakan ta`wil dengan tafsir.
Mujahid berkata : ”Bahwasanya para ulama mengetahui ta`wil Al Qur-an, yakni tafsirnya. Ibnu Jarir pun mempergunakan kata ta`wil dalam arti tafsir.
Sebagian lagi berpendapat lain bahwa tafsir berbeda dari ta`wil dalam segi umum dan khusus saja. Tafsir lebih umum daripada ta`wil. Dimaksud dengan ta`wil ialah menerangkan kehendak lafal atau petunjuk lafal kepada yg tidak segera ditanggapi.
Tafsir ialah menetapkan dengan penuh keyakinan, bahwasanya demikianlah kehendak Allah, sedangkan ta`wil mentarjihkan salah satu makna yg mungkin diterima oleh lafal, tanpa meyakini bahwa itulah yg dimaksudkan. Demikian pendapat Al Maturidy.
Ada yg mengatakan tafsir ialah menerangkan arti lafadz dengan jalan riwayat, sedangkan ta`wil menerangkan arti lafadz dengan jalan dirayat.
Atau tafsir ialah menerangkan makna-makna yang diperoleh dengan jalan isyarat.
Makna inilah yang terkenal dalam kalangan mutaakhkhirin, seperti yang diterangkan oleh al-Alusyi dalam Tafsir Ruhul Ma`ani.
Perlu ditandaskan bahwa pengertian ta`wil, menurut istilah mufassirin, adalah supaya tidak mencakup pengertian ta`wil menurut istilah mutakallimin. Menurut mereka, ta`wil bermakna: ”Memalingkan nash-nash al-Qur`an dan as-Sunnah yang mutasyabbihah, dari maknanya yang dhahir, kepda makna-makna yang sesuai dengan kesucian Allah dari menyerupai makhluq, yang berlainan dengan makna yang diberikan oleh ulama-ulama salaf, yaitu menyerahkan pengertian-pengertian nash itu, kepada Allah sendiri tanpa menentukan sesuatu makna”.
Namun demikian, tafsir dapat kita bagi menjadi 2 (dua) bagian, yakni :
  1. Tafsir yang beku yang fungsinya hanya menerangkan kedudukan lafal, mengi’rabkan kalimat, menerangkan balaghah-balaghah Al qur’an. Tafsir semacam ini lebih dekat kepada penerapan kaidah-kaidah bahasa Arab daripada pengertian apa yang Allah kehendaki dari hidayah-hidayahNya.
  2. Tafsir yang melampaui batas, tujuannya menjelaskan hidayah-hidayah Al qur’an, ajaran-ajaran Al qur’an dan hikmah-hikmah Allah mengenai sesuatu yang disyari’atkan Allah didalam Al qur’an dengan cara yang dapat memikat hati, membuka mata dan menggerakan jiwa untuk mengambil petunjuk dari Al qur’an. Dajn inilah yang layak dinamakan dengan Al qur’an




BAB II
MACAM-MACAM TAFSIR BERDASARKAN SUMBERNYA

A. Tafsir bil Ma’tsur
      Dr. Ibrahim mengungakapkan, definisi tafsir bil ma’stur adalah penafsiran dengan cara mencari makna lafadz atau kalimat dalam al-Qur’an melalui “penukilan” yang termaktub dalam al-Qur’an, hadits, ungkapan para sahabat ataupu tabiin.
      Dari definisi diatas kemudian dia merumuskan metode dan jenis tafsir bil ma’stur. Metode dan jenis yang dia paparkan tidak jauh dari pengertian yang dia jabarkan diatas, yakni :
  1. Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an.
  2. Al-Qur’an dengan hadist.
  3. Al-Qur’an dengan astar sahabat.
  4. Al-Qur’an dengan astar para tabiin.
      Sedangkan Dr. Shofwat, mendefinisikan tafsir bil ma’stur sebagai sebuah penafsiran ayat-ayat suci al-Qura’n dengan cara “menukil” baik nukilan itu mutawatir ataupun tidak. Adapun metode yang diungkapkan oleh dia sama dengan apa yang dipaparkan dan diungkapkan oleh Dr. Ibrahim. Sementara itu, tafsir bil ma’stur dalam definisi Dr. Husain Dzahabi adalah keterangan yang datang dari al-Qur’an itu sendiri dan apa-apa yang “dinukil” dari nabi, sahabat, serta tabi’in baik berupa penjelasan atau keterangan terhadap maksud ayat-ayat Allah yang termaktub dalam al-Qur’an.
       Husain dzahabi, menjelaskan siklus tafsir bil ma’stur menjadi dua, yang pertama bil riwayah dan yang kedua siklus kodifikasi. Pada siklus riwayah, proses terjadinya tafsir bil ma’sur ialah, nabi menerangkan isi kandungan al-Qur’an kepada para sahabat tentang makna-makna yang rumit dan buram. Pada siklus ini ada juga para sahabat yang tidak menerima riwayat langsung dari nabi, melainkan dari sesama sahabat yang lain. Sejalan dengan perkembangan waktu ditemukanlah para sahabat yang berbicara tentang tafsir Qur’an dengan apa yang telah diterangkan oleh nabi, bahkan ada juga yang berbicara tafsir Qur’an bersandar dan berdasar pada akal masing-masing.
       Ini semua tidak lepas dari kemampuan nalar akal para sahabat yang disinyalir merasa mumpuni dalam rangka mengejawentahkan makna al-Qur’an. Bukan hanya para sahabat yang mulai berani menafsirkan al-Qur’an, tabiin pada masa dimana nabi sudah tiada dan para masa sahabat berakhir juga mulai melakukan pengembangan tafsir. Maka kemudian mereka meriwayatkan penafsiran dari nabi dan para sahabat serta membubuhinya dengan pendapat mereka sendiri melalui ijtihad masing-masing.
Demikianlah seterusnya, tafsir mengalami obesitas dengan munculnya berbagai ungkapan-ungkapan para tabiittabiin yang semakin membuat eksigisi al-Qur’an semakin gemuk dari generasi ke generasi dan dari masa ke masa.
            Pada masa berikutnya dimulailah babak baru dalam diskursus interpretasi al-qur’an, siklus kodifikasi, siklus dimana penafsiran al-Qur’an tidak hanya dari mulut ke mulut. Pada masa ini, penafsiran al-Qur’an mulai dibukukan, akan tetapi pembukuan pada masa ini belum terkodifikasi secara rapi dan teratur, dan belum ada seorangpun yang membukukan penafsirannya. Mereka hanya menulis bahwa apa yang mereka pahami merupakan bagian tersendiri dari hadist.
      Dalam tafsir bil ma’stur, para ulama sepakat bahwa landasan utama dan sumber asasi sebagai acuan dalam proses eksegisi adalah al-Qur’an, hadits, atsar sahabat dan tabiin.

B. Tafsir Bil Ro’yi
      Ketika kaum muslimin memasuki era kebudayaan dan peradaban , ilmu agama dan Science berkembang mencapai puncak kejayaannya, alat-alat percetakan telah ditemukan dan produksi kertas telah dilakukan, yang mana hal itu memungkinkian dilakukan penerbitan karya-karya ilmiah dan memperbanyak kitab-kitab tafsir yang wujud dan metodenya berbeda-beda, banyak timbul golongan-golongan dalam islam, ada diantara ulam yang fanatik terhadap madzhab yang diikuti dan berusaha menafsirkan Al-Qur’an sesuai madzhabnya serta melegitimasi madzhabnya dengan ayat-ayat Al-Qur’an, dan lahir-lahir kitab tafsir yang mempunyai karakteristik tertentu sesuai dengan bidang ilmu pengarangnya, maka lahirnya bermacam-macam corak tafsir.
      Ada diantara kitab-kitab itu yang mengkaji dan menafsirkan al-Qur’an dari aspek cara yang ditempuh oleh al-Qur’an dalam menjelaskan sesuatu, segi-segi hukum syara’, aliran-aliran dalam ilmu kalam dan filsafat. Kemu’jizatan al-Qur’an, dan kitab-kitab tafsir lain yang mengkaji Al-qur’an dari aspek yang berbeda-beda sesuai dengan kecenderungan dan kepribadian pengarangnya. Jika seorang mufassir menemukan ayat yang memperkuat atau mempunyai hubungan dengan madhabnya, maka ia merasa sangat berkepentingan dengan ayat itu dan dalam menafsirkannya ia mengemukakan aspek aspek ilmiah, dalil-dalil rasionalnya, menolak serta membatalkan madzhab-madzhab lain, sehingga tampak jelas apa yang ia maksudkan.
      Beberapa hal tentang Tafsir bil Ro’yi, diantaranya adalah :
1. Makna Tafsir bil-Ro’yi
Tafsir bil-Ro’yi disebut juga dengan istilah tafsir bil ma’tsur, tafsir bil ijtihad, tafsir bil istinbat yang secara sepintas mengisyaratkan tafsir ini lebih berorentasi kepada penalaran yang bersifat aqli dengan pendekatan kebahasaan yang menjadi dasar penjelasannya. Adapun di maksud ro’yu adalah ijtihad.jadi tafsir bil-ro’yi adalah menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad setelah mufasir memahami pola-pola ahasa arab, kata-kata arab dan maknanya serta menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an, Asbabun Nuzul, nasikh dan mansuh, muhkam dan mutasyabih dll. Mufassir yang hanya mengandalkan ro’yu semata yang tidak disertai dengan bukti-bukti akan membawa penyimpangan terhadap kitabulloh, dan orang yang menafsirkan dengan cara demikian adalah ahli bid’ah, penganut madhab bathil. Mereka mempergunakan Qur’an untuk dita’wilkan menurut pendapat pribadi yang tidak mempnyai dasar pijakan berupa pendapat atau penafsiran ulama salaf, sahabat dan tabi’in.
Sebagian ulama lain menyatakan bahwa penafsiran bil-ro’yi hukumnya boleh sepanjang mufassir tersebur memenuhi syarat-syarat yang telah di buat oleh para ulama, akan tetapi sebagian ulama yang lain bahwa Tafsir bil-ro’yi hukumnya haram, karena banyak para Tafsir bil-ro’yi menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan pendapat pribadinya atau memaksakannya sesuai dengan madzhabnya
Mengenai Tafsir bil-ro’yi sekalipun memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk dapat dinilai baik dan terpuji, tidak dapat dibenarkan jika ia bertentangan dengan tafsir bil-ma’tsur yang kita ketahui dengan pasti berdasarkan pada nash-nash hadis shohih. Sebab ro’yu adalah ijtihad, sedang ijtihad tidak boleh disejajarkan dengan nash-nash hadis. Lain halnya kalau tafsir bil-ro’yi tidak bertentangan dengan tafsir bil-ma’stur maka keduanya saling mendukung dan saling memperkuat.

2.   Mengapa Di Perlukan Tafsir bil-Ro’yi
Terlepas dari kelemahan tafsir bil ro’yi dan tidak terbelenggu dengan sikap pro-kontra ulama dalam menghukumi tafsir bil ro’yi, yang pasti aliran ini memiliki potensi akademik untuk tetap terus dikembangkan dengan seiring tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi
Dengan tetap menjunjung tinggi supremasi tafsir bil ro’yi tafsir ini mutlak diperlukan . dan pengembangan demikian sangat dimungkinkan terutama dengan mengandalkan kekuatan bahasa al-Qur’an, yang bukan saja bersifat universal dan komprehensif serta padat isinya, melainkan juga benar-benar bersifat luas dan luwes (elastis).
Keluasan dan keluwesan ayat-ayat al-Qur’an antara lain terletak pada pilihan kosa katanya yang selalu up to date. Dan ini merupakan basis utama bagi kemungkinan pengembangan tafsir bil ro’yi terutama dihubungkan dengan penafsiran ayat-ayat kealaman.
3.   Macam-Macam Tafsir Bil Ro’yi dan contohnya
Para ahli ilmu tafsir membedakannya dengan 2 macam:
a. At-Tafsir Al-Mahmud (tafsir yang terpuji) yaitu tafsir yang seorang pelakunya mengenali aturan bahasa arab,uslub-uslubnya dan menguasai hukum syari’at.
Tafsir bil-Ro’yi dapat diterima apabila mufassirnya memenuhi kualifikasi ilmiah di bawah ini:
1.      Mengetahui ungkapan-ungkapan Arab
2.      Mengetahui lafad-lafad arab dan cara penunjukannya atas makna-makna yang dikehendaki
3.      Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat
4.      Mengetahui ayat nasikh dan mansukh
5.      Ber-aqidah Ahlus Sunnah Wal-jama’ah
6.      Menafsirkan dengan tujuan yang benar
Selain itu ia harus berpegang kepada apa yang diriwayatkan oleh Rosulullah dan para sahabat serta menguasai ilmu-ilmu yang dibutuhkan sebagai mufassir, yaitu ilimu bahasa arab, Nahwu, Shorof, ma’ani, bayan,qira’ah, ushuludin, ushululu fiqhi, dan ulumul hadis seta ilmu Almawhibah, yakni ilmu yang alloh karuniakn kepada siapa saja dari hamb-hambanya yang alim yang mengamalkan apa yang diketahuinya.
Selain harus memenuhi kualifiukasi ilmiah seperti tersebut diatas, mufassir bil-Ro’yi harus menghindari 6 hal, sebagai berikut:
a)      Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki oleh Alloh pada suatu ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu.
b)      Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui oleh Alloh
c)      Menafsirkan dengan disertai hawa nafsu dan sikap istikhsan ( menilai ahwa sesuatu itu baik semata-mata berdsarkan persepsinya).
d)     Menafsirkan ayat-ayat dengan makna-makna yang tidak dikandungnya
e)      Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu madzhab yang salah dengan cara menjadikan faham madzhab sebagai dasar, sedangkan penafsiran mengikuti faham madzhab tersebut
f)       Menafsirkan dengan disertaimemestikan, ahwa makna yang dikehendaki oleh Alloh adalah demikian , dengan tanpa didukung oleh Dalil.
Selama mufassir bil-ro’yi memenuhi syarat-syarat dan menjauhi keenam hal tersebut dengan disertai niat yang ikhlas semata-mata karena Alloh, maka penafsirannya dapat diterima dan pendapatnya dikatakan rasional.
Contoh-contoh tafsir Mahmudah:
Surat Al-Zalzalah ayat 7 dan
Artinya :
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.
Artinya:
Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.
Kata-kata“dengan benda-benda terkecil” misalnya atom, newton dan energy yang oleh ulama-ulama klasik ditafsirkan dengan biji sawi, biji gandum, semut gatal dll.
Surat Al-Alaq Ayat 4
Artinya:
Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam
Kata“Al-Qolam”oleh ulama salaf bahkan kebanyakan ulama kholaf pun diartikan sebagai pena, penafsiran tersebut tentu saja tidak salah karena alat tulis yang paling tua usianya adalah pena. Akan tetapi untuk menafsirkan kata-kata “Qolamun”dengan alat-alat tulis lain seperti pensil, pulpen, spidol, mesin tek, mesin stensil, dan computer pada zaman sekarang, agaknya juga tidak isa disalahkan mengingat arti asal dari kata “Qolamun”seperti dapat dilihat dalam berbagai kamus adalah alat yang digunakan untuk menulis.jadi lebih tepat memang jika kita menafsirkan kata-kata “Qolamun”dengan alat-alat tulis yang menggambarkan kemajuan dan keluasan Al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan dan tekhnologi dari pada sekedar mengartikan dengan pena yang mbisa jadi hanya menyimbulkan kesederhanaan dunia tulis menulis disaat Al-Qur’an mengalami proses penurunannya.
            b. At-Tafsir Al-Madzmumah (tercela) yaitu tafsir yang terbetik dari kecenderungan hawa nafsu, dibangun atas dasar kebodohan dan kesesatan mufasirnya.
Adapun ciri-cirinya adalah:
Ø  Mufasirnya tidak mempunyai keilmuan yang memadai
Ø  Tidak di dasarkan kepada kaidah-kaidah keilmuan
Ø  Menafsu\irkan Al-Qur’an semata-mata mengandalkan kecenderungan hawa nafsu
Ø  Mengabaikan aturan-aturan bahasa arab dan aturan syari’ah yang menyebabkan penafsirannya menjadi rusak, sesat dan menyesatkan
Cara yang Madzmumah ini apabila dipakai akan mengakibatkan penyimpangan dari jalan Alloh dan mengakibatkan ketergelinciran ke dalam kesesatan. Cara semacam ini bukanlah sebagai tafsir akan tetapi merupakan sebagai pemaksaan terhadap ayat Al-Qur’an.
Contoh-contoh Al-Tafsir Al-Madzmumah
Penafsiran sebagian mufasir terhadap surat Al-Baqarah Ayat 74:
Artinya:
Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, Karena takut kepada Allah. dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
Mereka menduga ada batu yang bisa berfikir, berbicara dan jatuh karena takut kepada Allah.
Kemudian penafsiran sebagian mufasir terhadap Al-Quran Surat An-Nahl Ayat 68 :
Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia",
Bahwa ada diantara lebah-lebah itu ada yang diangkat sebagai NabiNabi yang diberi wahyu oleh Alloh, dan mereka mengemukakan cerita-cerita bohong tentang kenabian lebah. Sementara yang lain berpendapat bahwa ada tetesan lilin jatuh ke pohon, kemudian tetesan itu dipindahkan oleh lebah yang dengannya ia membuat sarang-sarang dan dengannya ia membuat sarang-sarang dan dengannya pula is membuat madu. Mereka mengingkari, bahwa madu itu keluar dari perut lebah sedangkan pada ayat berikutnya menyatakan.
Artinya:
Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang Telah dimudahkan sminuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.
Bagaimana ia mengingkari sesuatu yang dengan jelas dinyatakan oleh ayat Al-Quran dan diperkuat lagi oleh segi bahasa.


3. Keunggulan dan Kekurangan Tafsir Bil Ro’yi
Keunggulan tafsir bil-ro’yi
Mufassir dapat menafsirkan seluruh komponen ayat Al-Qur’an secara dinamis sesuai denga perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi
Kekurangan tafsir bil-ro’yi
Terjadinya penafsiran yang dipaksakan
Subyektif
Hal-hal tertentu sulit membedakan antra pendekatan ilmiah yang sesungguhnya dengan kecenderungan subyektifitas mufasirnya

4.   Mengenal Kitab-Kitab Tafsir Bir Ro’yi dan Orang –Orangnya.
1.   Tafsir Al-Jalalain yaitu tafsir yang disusun oleh Jalaludin Muhammad Al-Mahally dan disempurnakan oleh Jalaludin Abdur Rohman As-suyuti.
      Tafsir ini merupakan tafsir yang mempunyai nilai tinggi, mudah kita memahaminya, walaupun sangat pendek uraiannya, bahwa tafsir inilah yang banyak berkembang dalam masyarakat dan para ulama sekarang ini. Bahkan tafsir kadang-kadang dicetak bersama-sama dengan Al-Qur’an. Satu hal yang sangat menarik dari tafsir ini adalah kebanyakan ulama besar memilih tafsir ini untuk menjadi obyek pelajaran tafsir, bahkan Muhammad Abduh menjadikan tafsir ini sebagai bahan pokok bagi tafsirnya.

2.   Tafsir Anwarut Tanzil wa Asrorut Ta’wil, yang terkenal dengan tafsir Al-Baydhowi yang disusun oleh Nasiruddin ibn sa’id Al-Baydhowi.Tafsir ini mempunyai nilai yang sangat tinggi dan baik kupasannya yang mengumpulkan antara tafsir dan ta’wil, berdasar kepada undang-undang Bahas Arab serta menetapkan dalil-dalil yang sesuai dengan Ahlus Sunnah. Akan tetapi beliau menutupi setiap surat dengan menerangkan hadist yang menerangkan keutamaan srat itu yang terkadang-kadang hadits itu Dho’if. Dan hasyiyahnya yang terbaik ialah Asy-Shihab Al-Khafajy

3.   Tafsir Mafatihul Ghoib yang terkenal dengan tafsir Ar-Rozi yang disusun oleh Muhammad ibn Diya’uddin yang terkenal dengan Khotibur Roy
Tafsir ini banyak menerangkan tentang akidah Ahlus Sunnah, ahkan tafsir menyikapinya dengan berlebihan dalam membela pendirian Ahlus Sunnah. Beliau menempuh jalan filsafat, karenanya beliaumengemukakan dalil mengenai masalah ketuhanan menurut system yang ditempuh oleh ahli-ahli falsafah, walaupun beliuanu menyesuaikan alasan-alasannya dengan pendirian Ahlus Snnah Wal Jama’ah

4.   Tafsir Irsyadul Aqlis Salim ila Mazayal Qur’anil Karim, yang ditulis oleh Abus Su’ud Muhammad ibn Muhammad ibn Musthofa Ath-Tahawi
Tafsir ini merupakan tafsir yang memepunyai seni indah, susunan yang sangat menarik. Tafsir ini banyak memuat balaghoh Al-Qur’an dan tentang kemu’jizatan Al-qur’an dari segi bahasa, disamping mempertahankan pendirian Ahlus Sunnah. Abus Su’ud menjauhkan diri dari pada memanjang-manjangkan keterangan yang tidak berfaedah.

5.   Tafsir Ruhul Ma’ani yang disusun oleh Shihabuddin Al-Lusi
Tafsir ini sangat mudah untuk difahami karena tafsir ini lebih menonjolkan ibaratnya. Dia mentahqiqkan sesuatu yang perlu kepada tahqiq, isisnya tidak terlalu panjang, tafsir ini juga memperhatikan Qiro’at, masalah wakaf, di setiap marhalah dari marhalah-marhalah tafsir, serta memperhatikan pula takwil Isyari di akhir tiap-tiap marhalah. Dan biasanya tafsir ini dicetak bersama-sama dengan tafsir ibn Jarir

6.   Tafsir Ghoroibul Qur’an wa Roghoibul Furqon yang disusun oleh Nidhomuddin Al-Hasan Muhammad An-Naisabury
Tafsir ini termasuk golongan Isyary yaitu mentafsirkan Al-Qur’an bukan dengan dhohirnya untuk mengutarakan sesuatu yang tersembunyi dan hanya dapat dilihat oleh ahli tasawuf.

7.   Tafsir Assirojul Munir fil I’anati ala Ma’rifati Kalami Robinal Khobir yang disusun oleh Muhammad Asy-Syarbini Al-Kahatib
Tafsir ini merupakan sebuah tafsir yang baik yang bernilai dan berkembang dalam masyarakat, mudah dan dalam pembicaraannya.
Menurut pendapatnya dalam mentakwilkan Al-qur’an dalam mengumpulkan segala macam I’rob, dan Qira’at, serta mengandung masalah-masalh yang penting dari ilmu Badie dan Qiro’at dan menguatkan pendapat-pendapat Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah,

8.   Tafsir Lubanut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil wa Khaqoiqut Ta’wil yang disusun oleh Abul Bakarat Abdulloh ibn Mahmud An-Nasafy
Suatu tafsir yang yang mempunyai nilai yang sangat tinggi, tafsir ini menitik beratkan pemahasannya kepada tiga perkara:
Ø  Menguatkan dalil-dalil yang dikemukakan dan memberikan alasan-alasan yang sempurna
Ø  Memperkatakan persesuaian antara surat dengan surat dan antara ayat dengan ayat
Ø  Menerangkan kisah dan riwayat

9.   Tafsir Al-khozin yang disusun oleh Alauddin Ali ibn Muhammad ibn Ibrahim Al-Baghdadi yang terkenal dengan nama Al-Khozin.
Tafsir ini merupakan tafsir yang mentafsirkan Al-Qur’an dengan riwayat.akan tetapi pengarangnya tidak menyebut sanad dari riwayat tersebut. Dia sangat gemar menerangkan berbagai macam riwayat dan kisah. Diantara keistimewaannya ialah menerangkan suatu kisah dengan menyebut pula hal-hal yang bathil dari pada kisah-kisah itu, agar orang tidak terperdaya dengan kisah-kisah tersebut.


C.          Tafsir bil Izdiwaji (campuran)
            Tafsir Idziwaji disebut juga dengan metode campuran antara tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ro’yi, yaitu menafsirkan Al qur’an atas perpaduan sumber tafsir riwayat yang kuat dan shahih, dengan sumber hasil ijtihad akan pikiran yang sehat.
            Prof.Dr.Hamka dalam tafsirnya “ Al Azhar” menyatakan : Penafsirannya memelihara sebaik-baiknya hubungan antara naqal dan akal, diantara riwayah dan dirayah. Penafsiran tidak hanya semata-mata mengutip atau menukil pendapat yang telah terdahulu, tetapi mempergunakan juga tinjauan pengalaman pribadi.
Contoh kitab-kitab yang termasuk jenis ini adalah :
1.      Tafsir Al Manar, karya Syeikh Rasyid Ridho
2.      Al Jawahiru fi Tafsiril Qur’an, karya Syaikh Tanthawi Jauhari
3.      Tafsirul Maraghi, karya Syaikh Ahmad Musthofa  Al maraghi
           






























BAB III

MACAM-MACAM TAFSIR BERDASARKAN METODE

I.    Tafsir Tahlili
      Tafsir Tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur`an dari berbagai aspeknya dengan memperhatikan runtunan ayat-ayat al-Qur`an yang tercantum di dalam mushaf, (Shadr, 1980:10) atau suatu metode penafsiran al-Qur`an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat tersebut (al-Farmawi, 1977:24).
      Dalam metode ini, segala sesuatu yang di anggap perlu oleh seorang mufassir tahlili diuraikan, baik bermula dari penjelasan makna lafadz-lafadz tertentu, ayat per-ayat, surat per-surat, susunan kalimat, persesuaian kalimat yang satu dengan yang lain, Asbab al-Nuzul, hadits yang berkenaan dengan ayat-ayat yang ditafsirkan dan lain-lain.
      Penafsiran yang mengikuti metode ini bisa mengambil bentuk ma`tsur (riwayat) atau ra`yi (pemikiran). Dalam penafsiran tersebut, al-Qur`an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan Asbab An-Nuzul dari ayat-ayat yg ditafsirkan. Kemudian diungkapkan pula penafsiran-penafsiran yg pernah diberikan oleh Nabi SAW, Sahabat, Tabi^in, Tabi Tabi^in, dan para ahli tafsir lainnya dari berbagai disiplin ilmu, seperti teologi, fiqih, bahasa, sastra, dsb. Selain itu juga dijelaskan Munasabah antara ayat yg satu dengan yg lainnya.
Ciri lain dari metode ini, penafsirannya diwarnai oleh kecenderungan dan keahlian mufassirnya sepert fiqih, sufi, falsafi, ilmi, adabi ijtimai, dan lain-lain.

ÎI. Tafsir Ijmali
   Tafsir Ijmali adalah menafsirkan Al-Qur an dengan cara menjelaskan maksud Al Qur an secar global, tidak terperinci sepert tafsir tahlili, (Hidayat, 1996: 191) atau menjelaskan ayat-ayat Al Qur-an secara ringkas tapi mencakup dgn bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca. Sistematika tulisannya menurut susunan ayat-ayat yg terdapat dalam mushaf. Selain itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al Qur-an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih mendengarkan Al Qur-an padahal yg didengarnya adalah tafsirannya.
      Tafsir dengan metode ini ditetapkan secara khusus bagi orang awam agar mudah memahami maksud yyg terkandung dalam Al Qur-an. Karena dgn metode tafsir ijmali, seorang mufassir berbicara kepada pembacanya dgn cara yang termudah, singkat, tidak berbelit-belit yg dapat menjelaskan arti ayat sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal lain dari arti yg dikehendaki, dgm target pihaj pembaca memahami kandungan pokok Al Qur-an.


      Penafsiran yang dilakukan terhadap ayat-ayat Al Qur-an, ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan urutannya dalam mushaf. Dan kadangkala mufassir menafsirkan Al Qur-an dengan lafazh Al Qur-an, sehingga pembaca merasa bahwa uraian tafsirnya tidak jauh dari konteks Al Qur-an dgn penyajiannya yang mudah dan indah. Metode tafsir Ijmali ini hampir sama dengan metode tafsir Tahlili, tetapi penafsirannya tidak secara terperinci seperti tafsir Tahlili, hanya secara ringkas dan umum.

III. Tafsir Muqoron
      Pengertian metode tafsir Muqoron adalah: 1) membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al Qur-an yang memiliki kesamaan redaksi dalam 2 kasus lebih, dan atau memiliki berbeda bagi satu kasus yg sama; 2) membandingkan ayat Al Qur-an dengan hadits yg pada lahirnya bertentangan; dan 3) membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir di dalam menafsirkan Al Qur-an (Baidan 1998: 65)

      Definisi di atas menunjukkan bahwa, penafsiran Al Qur-an dgm metode ini memiliki cakupan yang amat luas, tidak hanya membandingkan ayat dengan ayat, ayat dgn hadits, tapi juga membandingkan pendapat para mufassir dalam menafsirkan ayat.
Ciri-ciri:
Metode ini mempunyai ciri khas yang dapat membedakannya dari metode lain yaitu membandingkan pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, baik merka termasuk ulama salaf ataupun ulama hadits yang metode dan kecenderungan merka berbeda-beda, baik penafsiran merka yg berdasarkan riwayat yg bersumber dari Rosulullah SAW, Sahabat atau Tabi^in ( tafsir bil ma^tsur) atau berdasarkan rasio, ijtihad (tafsir bil ra^y) dan mengungkapkan pendapat mereka serta membandingkan segi-segi dan kecenderungan masing-masing yang berbeda dalam penafsiran Al Qur-an.
      Mufassir dengan metode ini dituntut mampu nenganalisis pendapat-pendapat para ulama tafsir yang mereka kemukakan untuk kemudian mengambil sikap untuk menerima penafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsiran yang tidak dapat diterima oleh rasionya serta menjelaskan kepada pembaca alasan dari sikap yang diambilnya, sehingga pembaca merasa puas.

IV. Tafsir Maudhu`i
      Metode tafsir Maudhu^i / tematik adalah suatu metode penafsiran Al Qur-an dimana seorang mufassir mengkaji Al Qur-an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan dalam Al Qur-an, baik yang berkaitan dengan hal kehidupan, sosiologi, ataupan kosmologi (Muhaimin, 1994: 120) . Dalam metode ini, semua ayat yang berkaitan, dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbaabun nuzul, kosa kata, dsb. Semuanya dikaji secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Ciri-ciri tafsir Maudhu’i adalah :
Sesuai dengan namanya, maka yang menjadi ciri utama dari metode ini ialah penonjolan tema, judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal (Baidan, 1998: 152)
      Tafsir Maudhu^i mempunyai dua bentuk kajian yang menjadi ciri utamanya: Pertama, pembahasan mengenai satusurat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat. Kedua, menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu masalah tertentu; ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupadan diletakkan di bawah satu tema bahasan, selanjutnya ditafsirkan secara Maudhu^i.
      Kemudian untuk cara kerjanya (yang menjadi ciri khas metode ini) Abd al- Farmawi (1977: 52) merumuskannya sbb:
(a) menetapkan masalah/tema yg akan dibahas;
(b) menghimpun ayat-ayat yg berkaitan dgn masalah tersebut;
(c) menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya;
(d) memahami korelasi ayat-ayat tsb dalam suratnya masing-masing;
(e) menyusun pembahasan dalam rangka yg sempurna;
(f) melengkapi pembahasan dgn hadits-hadits yg relevan dgn pokok pembahasan;
(g) mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dgn jalan menghimpun ayat-ayat yang memiliki pengertian sama, atau mengkompromasikan antara yang ”amm” dengan yang ’khosh”, yang ”mutlak”, yang ”muqoyyad”, atau yang lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu ke dalam satu muara tanpa perbedaan atau pamaksaan.
Contoh Kitab-kitab tafsir bil-Ma’sur yang terkenal :
1). Tafsir yang dinisbahkan kepada Ibn Abbas.
2). Tafsir Ibn ’Uyainah.
3). Tafsir Ibn Abi Hatim.
4). Tafsir Abusy Syaikh bin Hibban.
5). Tafsir Ibn ’Atiyah.
6). Tafsir Abuk Lais Samarqandi, Bahrul Ulum.
7). Tafsir Abu Ishaq, al-Kasyfu wal Bayan an Tafsiril Qur-an.
8). Tafsir Ibn Jarir at-Tabari, Jami’ul Bayan fii Tafsiril Qur-an.
9). Tafsir Ibn Abi Syaibah.
10.) Tafsir al-Baghowi, Ma’alimut Tanzil.
11). Tafsir Abil Fida’ al-Hafizh Ibn Katsir, Tafsirul Qur-anul Azhim.
12). Tafsir as-Salabi, al-Jawahirul Hisan fii Tafsiril Qur-an.
13). Tafsir Jalaluddin as-Suyuti, ad-Durrul Mantsur fit Tafsiri bil Ma’sur.
14). Tafsir asy-Syaukani, Fathul Qadir.


























BABIV

KESIMPULAN

Al-Qur`an sebagai ”hudan-linnas” dan “hudan-lilmuttaqin”, maka untuk memahami kandungan al-Qur`an agar mudah diterapkan dalam pengamalan hidup sehari-hari memerlukan pengetahuan dalam mengetahui arti/maknanya, ta`wil, dan tafsirnya sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW. Sehingga kehendak tujuan ayat al-Qur`an tersebut tepat sasarannya.
Terjemah, tafisr, dan ta`wil diperlukan dalam memahami isi kandungan ayat-ayat al-Qur`an yang mulia. Pengertian terjemah lebih simple dan ringkas karena hanya merubah arti dari bahasa yg satu ke bahasa yang lainnya. Sedangkan istilah tafsir lebih luas ari kata terjemah dan ta’wil , dimana segala sesuatu yang berhubungan dengan ayat, surat, asbaabun nuzul, ddan lain sebagainya dibahas dalam tafsir yang bertujuan untuk memberikan kepahaman isi ayat atau surat tersebut, sehingga mengetahui maksud dan kehendak firman-firman Allah SWT tersebut.
Tafsir bil Ro’yi adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihad setelah mufasir memahami pola-pola ahasa arab, kata-kata arab dan maknanya serta menguasai ilmu-ilmu Al-Qur’an, Asbabun Nuzul, nasikh dan mansuh, muhkam dan mutasyabih.
Tafsir bil Ro’yi mutlak dilakukan dan memiliki potensi akademik untuk tetap terus dikembangkan dengan seiring tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Tafsir bil Ro’yi ada dua macam yaitu : Tafsir bil Ro’yi yang Mahmudah dan Tafsir bil Ro’yi yang madzmumah.
Macam-macam tafsir berdasarkan sumbernya ada 3 (tiga) yaitu : Tafsir bil Ma’tsur, Tafsir bil Ra’yi, dan Tafsir bil Idziwaji.
Macam-macam tafsir berdasarkan metodenya ada 3 (tiga) yaitu : Tafsir Tahlili, Tafsir Ijmali, Tafsir Muqoron, Tafsir Maudhu’i





















DAFTAR PUSTAKA

  1. Ahmad  Syadali,H,MA, Ulumul Qur’an
  2. Manna Kholil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur-an, Pustaka Litera Antarnusa 2007,
  3. Saifullah dkk, Ulumul Qur-an, Prodia Pratama
  4. Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al qur’an, PT. Pustaka Rizki Putra  


No comments:

Post a Comment