TAFSIR, TA’WIL DAN TARJAMAH
BAB I
Dalam
al-Qur`an dinyatakan: (Tidaklah mereka datang kepadamu (membawa) sesuatu yang
ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan paling baik
tafsir-nya) (al-Furqan : 33).
Maksudnya: setiap kali mereka datang kepada nabi Muhammad s.a.w membawa
suatu hal yang aneh berupa usul dan kecaman, Allah menolaknya dengan suatu yang
benar dan nyata. Dalam al-Qur`an dinyatakan:
”Suatu ilmu yg di dalamnya dibahas tentang cara-cara menyebut lafal Al
Qur-an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, baik secara ifrat, maupun secara
tarkib dan makna-maknanya yg ditampung oleh tarkib dan yg selain itu, seperti mengetahui
nasakh, sebab nuzul, dan sesuatu yg menjelaskan pengertian seperti kisah dan
matsal (perumpamaan).”
Dalam pengertian istilah ahli tafsir, ada beberapa macam maknanya: Golongan
mutaqoddimin memaknakan ta`wil dengan tafsir.
Mujahid berkata : ”Bahwasanya para ulama
mengetahui ta`wil Al Qur-an, yakni tafsirnya. Ibnu Jarir pun mempergunakan kata
ta`wil dalam arti tafsir.
Sebagian lagi berpendapat lain bahwa tafsir berbeda dari ta`wil dalam segi
umum dan khusus saja. Tafsir lebih umum daripada ta`wil. Dimaksud dengan ta`wil
ialah menerangkan kehendak lafal atau petunjuk lafal kepada yg tidak segera
ditanggapi.
Tafsir ialah menetapkan dengan penuh keyakinan,
bahwasanya demikianlah kehendak Allah, sedangkan ta`wil mentarjihkan salah satu
makna yg mungkin diterima oleh lafal, tanpa meyakini bahwa itulah yg
dimaksudkan. Demikian pendapat Al Maturidy.
Ada yg mengatakan tafsir ialah menerangkan arti
lafadz dengan jalan riwayat, sedangkan ta`wil menerangkan arti lafadz dengan
jalan dirayat.
Atau tafsir ialah menerangkan makna-makna yang diperoleh dengan jalan
isyarat.
Makna inilah yang terkenal dalam kalangan
mutaakhkhirin, seperti yang diterangkan oleh al-Alusyi dalam Tafsir Ruhul
Ma`ani.
Perlu
ditandaskan bahwa pengertian ta`wil, menurut istilah mufassirin, adalah supaya
tidak mencakup pengertian ta`wil menurut istilah mutakallimin. Menurut mereka,
ta`wil bermakna: ”Memalingkan nash-nash al-Qur`an dan as-Sunnah yang
mutasyabbihah, dari maknanya yang dhahir, kepda makna-makna yang sesuai dengan
kesucian Allah dari menyerupai makhluq, yang berlainan dengan makna yang
diberikan oleh ulama-ulama salaf, yaitu menyerahkan pengertian-pengertian nash
itu, kepada Allah sendiri tanpa menentukan sesuatu makna”.
Namun demikian, tafsir dapat kita
bagi menjadi 2 (dua) bagian, yakni :
- Tafsir yang beku yang fungsinya hanya menerangkan kedudukan lafal, mengi’rabkan kalimat, menerangkan balaghah-balaghah Al qur’an. Tafsir semacam ini lebih dekat kepada penerapan kaidah-kaidah bahasa Arab daripada pengertian apa yang Allah kehendaki dari hidayah-hidayahNya.
- Tafsir yang melampaui batas, tujuannya menjelaskan hidayah-hidayah Al qur’an, ajaran-ajaran Al qur’an dan hikmah-hikmah Allah mengenai sesuatu yang disyari’atkan Allah didalam Al qur’an dengan cara yang dapat memikat hati, membuka mata dan menggerakan jiwa untuk mengambil petunjuk dari Al qur’an. Dajn inilah yang layak dinamakan dengan Al qur’an
BAB II
MACAM-MACAM TAFSIR
BERDASARKAN SUMBERNYA
A. Tafsir bil Ma’tsur
Dr. Ibrahim
mengungakapkan, definisi tafsir bil ma’stur adalah penafsiran dengan cara
mencari makna lafadz atau kalimat dalam al-Qur’an melalui “penukilan” yang
termaktub dalam al-Qur’an, hadits, ungkapan para sahabat ataupu tabiin.
Dari definisi
diatas kemudian dia merumuskan metode dan jenis tafsir bil ma’stur. Metode dan
jenis yang dia paparkan tidak jauh dari pengertian yang dia jabarkan diatas,
yakni :
- Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an.
- Al-Qur’an dengan hadist.
- Al-Qur’an dengan astar sahabat.
- Al-Qur’an dengan astar para tabiin.
Sedangkan Dr.
Shofwat, mendefinisikan tafsir bil ma’stur sebagai sebuah penafsiran ayat-ayat
suci al-Qura’n dengan cara “menukil” baik nukilan itu mutawatir ataupun tidak.
Adapun metode yang diungkapkan oleh dia sama dengan apa yang dipaparkan dan
diungkapkan oleh Dr. Ibrahim. Sementara itu, tafsir bil ma’stur dalam definisi
Dr. Husain Dzahabi adalah keterangan yang datang dari al-Qur’an itu sendiri dan
apa-apa yang “dinukil” dari nabi, sahabat, serta tabi’in baik berupa penjelasan
atau keterangan terhadap maksud ayat-ayat Allah yang termaktub dalam al-Qur’an.
Husain dzahabi, menjelaskan siklus tafsir bil
ma’stur menjadi dua, yang pertama bil riwayah dan yang kedua siklus kodifikasi.
Pada siklus riwayah, proses terjadinya tafsir bil ma’sur ialah, nabi
menerangkan isi kandungan al-Qur’an kepada para sahabat tentang makna-makna
yang rumit dan buram. Pada siklus ini ada juga para sahabat yang tidak menerima
riwayat langsung dari nabi, melainkan dari sesama sahabat yang lain. Sejalan
dengan perkembangan waktu ditemukanlah para sahabat yang berbicara tentang
tafsir Qur’an dengan apa yang telah diterangkan oleh nabi, bahkan ada juga yang
berbicara tafsir Qur’an bersandar dan berdasar pada akal masing-masing.
Ini semua tidak lepas dari kemampuan nalar
akal para sahabat yang disinyalir merasa mumpuni dalam rangka mengejawentahkan
makna al-Qur’an. Bukan hanya para sahabat yang mulai berani menafsirkan
al-Qur’an, tabiin pada masa dimana nabi sudah tiada dan para masa sahabat
berakhir juga mulai melakukan pengembangan tafsir. Maka kemudian mereka
meriwayatkan penafsiran dari nabi dan para sahabat serta membubuhinya dengan
pendapat mereka sendiri melalui ijtihad masing-masing.
Demikianlah
seterusnya, tafsir mengalami obesitas dengan munculnya berbagai
ungkapan-ungkapan para tabiittabiin yang semakin membuat eksigisi al-Qur’an
semakin gemuk dari generasi ke generasi dan dari masa ke masa.
Pada masa berikutnya dimulailah
babak baru dalam diskursus interpretasi al-qur’an, siklus kodifikasi, siklus
dimana penafsiran al-Qur’an tidak hanya dari mulut ke mulut. Pada masa ini,
penafsiran al-Qur’an mulai dibukukan, akan tetapi pembukuan pada masa ini belum
terkodifikasi secara rapi dan teratur, dan belum ada seorangpun yang membukukan
penafsirannya. Mereka hanya menulis bahwa apa yang mereka pahami merupakan
bagian tersendiri dari hadist.
Dalam tafsir
bil ma’stur, para ulama sepakat bahwa landasan utama dan sumber asasi sebagai
acuan dalam proses eksegisi adalah al-Qur’an, hadits, atsar sahabat dan tabiin.
B. Tafsir
Bil Ro’yi
Ketika kaum muslimin
memasuki era kebudayaan dan peradaban , ilmu agama dan Science berkembang mencapai puncak
kejayaannya, alat-alat percetakan telah ditemukan dan produksi kertas telah dilakukan, yang
mana hal itu memungkinkian
dilakukan penerbitan karya-karya ilmiah dan memperbanyak kitab-kitab tafsir yang wujud dan
metodenya berbeda-beda, banyak timbul golongan-golongan dalam islam, ada diantara ulam yang
fanatik terhadap madzhab
yang diikuti dan
berusaha menafsirkan Al-Qur’an sesuai madzhabnya serta melegitimasi madzhabnya dengan
ayat-ayat Al-Qur’an,
dan lahir-lahir kitab tafsir yang mempunyai karakteristik tertentu sesuai dengan bidang
ilmu pengarangnya, maka lahirnya bermacam-macam corak tafsir.
Beberapa hal tentang
Tafsir bil Ro’yi, diantaranya adalah :
1. Makna Tafsir bil-Ro’yi
Tafsir
bil-Ro’yi disebut juga dengan istilah tafsir bil ma’tsur, tafsir bil ijtihad,
tafsir bil istinbat yang secara sepintas mengisyaratkan tafsir ini lebih
berorentasi kepada penalaran yang bersifat aqli dengan pendekatan kebahasaan yang
menjadi dasar penjelasannya. Adapun di maksud ro’yu adalah ijtihad.jadi tafsir bil-ro’yi
adalah menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad setelah mufasir memahami pola-pola
ahasa arab, kata-kata arab dan maknanya serta menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an,
Asbabun Nuzul, nasikh dan mansuh, muhkam dan mutasyabih dll. Mufassir yang hanya mengandalkan ro’yu semata yang tidak disertai
dengan bukti-bukti akan membawa penyimpangan terhadap kitabulloh, dan orang
yang menafsirkan dengan cara demikian adalah ahli bid’ah, penganut madhab
bathil. Mereka mempergunakan Qur’an untuk dita’wilkan menurut pendapat pribadi
yang tidak mempnyai dasar pijakan berupa pendapat atau penafsiran ulama salaf,
sahabat dan tabi’in.
Sebagian
ulama lain menyatakan bahwa penafsiran bil-ro’yi hukumnya boleh sepanjang
mufassir tersebur memenuhi syarat-syarat yang telah di buat oleh para ulama,
akan tetapi sebagian ulama yang lain bahwa Tafsir bil-ro’yi hukumnya haram,
karena banyak para Tafsir bil-ro’yi menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai
dengan pendapat pribadinya atau memaksakannya sesuai dengan madzhabnya
Mengenai
Tafsir bil-ro’yi sekalipun memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk dapat
dinilai baik dan terpuji, tidak dapat dibenarkan jika ia bertentangan dengan
tafsir bil-ma’tsur yang kita ketahui dengan pasti berdasarkan pada nash-nash
hadis shohih. Sebab ro’yu adalah ijtihad, sedang ijtihad tidak boleh
disejajarkan dengan nash-nash hadis. Lain halnya kalau tafsir bil-ro’yi tidak
bertentangan dengan tafsir bil-ma’stur maka keduanya saling mendukung dan
saling memperkuat.
2. Mengapa
Di Perlukan Tafsir bil-Ro’yi
Terlepas
dari kelemahan tafsir bil ro’yi dan tidak terbelenggu dengan sikap pro-kontra
ulama dalam menghukumi tafsir bil ro’yi, yang pasti aliran ini memiliki potensi
akademik untuk tetap terus dikembangkan dengan seiring tuntutan kemajuan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi
Dengan
tetap menjunjung tinggi supremasi tafsir bil ro’yi tafsir ini mutlak diperlukan
. dan pengembangan demikian sangat dimungkinkan terutama dengan mengandalkan
kekuatan bahasa al-Qur’an, yang bukan saja bersifat universal dan komprehensif
serta padat isinya, melainkan juga benar-benar bersifat luas dan luwes
(elastis).
Keluasan
dan keluwesan ayat-ayat al-Qur’an antara lain terletak pada pilihan kosa
katanya yang selalu up to date. Dan ini merupakan basis utama bagi kemungkinan
pengembangan tafsir bil ro’yi terutama dihubungkan dengan penafsiran ayat-ayat
kealaman.
3. Macam-Macam
Tafsir Bil Ro’yi dan contohnya
a. At-Tafsir Al-Mahmud (tafsir yang
terpuji) yaitu tafsir yang seorang pelakunya mengenali aturan bahasa
arab,uslub-uslubnya dan menguasai hukum syari’at.
Tafsir bil-Ro’yi
dapat diterima apabila mufassirnya memenuhi kualifikasi ilmiah di bawah ini:
1. Mengetahui ungkapan-ungkapan Arab
2. Mengetahui lafad-lafad arab dan cara penunjukannya atas
makna-makna yang dikehendaki
3. Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat
4. Mengetahui ayat nasikh dan mansukh
5. Ber-aqidah Ahlus Sunnah Wal-jama’ah
6. Menafsirkan dengan tujuan yang benar
Selain
itu ia harus berpegang kepada apa yang diriwayatkan oleh Rosulullah dan para
sahabat serta menguasai ilmu-ilmu yang dibutuhkan sebagai mufassir, yaitu ilimu
bahasa arab, Nahwu, Shorof, ma’ani, bayan,qira’ah, ushuludin, ushululu fiqhi,
dan ulumul hadis seta ilmu Almawhibah, yakni ilmu yang alloh karuniakn kepada
siapa saja dari hamb-hambanya yang alim yang mengamalkan apa yang diketahuinya.
Selain harus
memenuhi kualifiukasi ilmiah seperti tersebut diatas, mufassir bil-Ro’yi harus
menghindari 6 hal, sebagai berikut:
a) Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki oleh Alloh
pada suatu ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu.
b) Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui oleh
Alloh
c) Menafsirkan dengan disertai hawa nafsu dan sikap istikhsan (
menilai ahwa sesuatu itu baik semata-mata berdsarkan persepsinya).
d) Menafsirkan ayat-ayat dengan makna-makna yang tidak dikandungnya
e) Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu madzhab yang salah
dengan cara menjadikan faham madzhab sebagai dasar, sedangkan penafsiran
mengikuti faham madzhab tersebut
f) Menafsirkan dengan disertaimemestikan, ahwa makna yang
dikehendaki oleh Alloh adalah demikian , dengan tanpa didukung oleh Dalil.
Selama mufassir
bil-ro’yi memenuhi syarat-syarat dan menjauhi keenam hal tersebut dengan
disertai niat yang ikhlas semata-mata karena Alloh, maka penafsirannya dapat
diterima dan pendapatnya dikatakan rasional.
Contoh-contoh tafsir Mahmudah:
Surat Al-Zalzalah ayat 7 dan
Artinya :
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan
seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.
Artinya:
Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan
sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.
Kata-kata“dengan
benda-benda terkecil” misalnya atom, newton dan energy yang oleh ulama-ulama
klasik ditafsirkan dengan biji sawi, biji gandum, semut gatal dll.
Artinya:
Yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam
Kata“Al-Qolam”oleh
ulama salaf bahkan kebanyakan ulama kholaf pun diartikan sebagai pena,
penafsiran tersebut tentu saja tidak salah karena alat tulis yang paling tua
usianya adalah pena. Akan tetapi untuk menafsirkan kata-kata “Qolamun”dengan
alat-alat tulis lain seperti pensil, pulpen, spidol, mesin tek, mesin stensil,
dan computer pada zaman sekarang, agaknya juga tidak isa disalahkan mengingat
arti asal dari kata “Qolamun”seperti dapat dilihat dalam berbagai kamus adalah
alat yang digunakan untuk menulis.jadi lebih tepat memang jika kita menafsirkan
kata-kata “Qolamun”dengan alat-alat tulis yang menggambarkan kemajuan dan
keluasan Al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan dan tekhnologi dari pada sekedar
mengartikan dengan pena yang mbisa jadi hanya menyimbulkan kesederhanaan dunia
tulis menulis disaat Al-Qur’an mengalami proses penurunannya.
b. At-Tafsir Al-Madzmumah (tercela) yaitu tafsir yang terbetik dari kecenderungan hawa nafsu,
dibangun atas dasar kebodohan dan kesesatan mufasirnya.
Adapun ciri-cirinya adalah:
Ø
Mufasirnya tidak mempunyai
keilmuan yang memadai
Ø
Tidak di dasarkan kepada
kaidah-kaidah keilmuan
Ø
Menafsu\irkan Al-Qur’an
semata-mata mengandalkan kecenderungan hawa nafsu
Ø
Mengabaikan aturan-aturan
bahasa arab dan aturan syari’ah yang menyebabkan penafsirannya menjadi rusak,
sesat dan menyesatkan
Cara
yang Madzmumah ini apabila dipakai akan mengakibatkan penyimpangan dari jalan
Alloh dan mengakibatkan ketergelinciran ke dalam kesesatan. Cara semacam ini
bukanlah sebagai tafsir akan tetapi merupakan sebagai pemaksaan terhadap ayat Al-Qur’an.
Contoh-contoh
Al-Tafsir Al-Madzmumah
Penafsiran
sebagian mufasir terhadap surat
Al-Baqarah Ayat 74:
Artinya:
Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras
seperti batu, bahkan lebih keras lagi. padahal diantara batu-batu itu sungguh
ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang
terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang
meluncur jatuh, Karena takut kepada Allah. dan Allah sekali-sekali tidak lengah
dari apa yang kamu kerjakan.
Kemudian penafsiran
sebagian mufasir terhadap Al-Quran Surat An-Nahl Ayat 68 :
Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah:
"Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di
tempat-tempat yang dibikin manusia",
Bahwa ada
diantara lebah-lebah itu ada yang diangkat sebagai NabiNabi yang diberi wahyu
oleh Alloh, dan mereka mengemukakan cerita-cerita bohong tentang kenabian
lebah. Sementara yang lain berpendapat bahwa ada tetesan lilin jatuh ke pohon,
kemudian tetesan itu dipindahkan oleh lebah yang dengannya ia membuat
sarang-sarang dan dengannya ia membuat sarang-sarang dan dengannya pula is
membuat madu. Mereka mengingkari, bahwa madu itu keluar dari perut lebah
sedangkan pada ayat berikutnya menyatakan.
Artinya:
Kemudian
makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang
Telah dimudahkan sminuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya
terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang
memikirkan.
Bagaimana ia
mengingkari sesuatu yang dengan jelas dinyatakan oleh ayat Al-Quran dan
diperkuat lagi oleh segi bahasa.
3. Keunggulan dan Kekurangan Tafsir Bil Ro’yi
Keunggulan tafsir bil-ro’yi
Mufassir dapat
menafsirkan seluruh komponen ayat Al-Qur’an secara dinamis sesuai denga
perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi
Kekurangan tafsir bil-ro’yi
Terjadinya
penafsiran yang dipaksakan
Subyektif
Hal-hal
tertentu sulit membedakan antra pendekatan ilmiah yang sesungguhnya dengan
kecenderungan subyektifitas mufasirnya
4. Mengenal
Kitab-Kitab Tafsir Bir Ro’yi dan Orang –Orangnya.
1. Tafsir Al-Jalalain yaitu tafsir yang
disusun oleh Jalaludin Muhammad Al-Mahally dan disempurnakan oleh Jalaludin
Abdur Rohman As-suyuti.
Tafsir ini merupakan
tafsir yang mempunyai nilai tinggi, mudah kita memahaminya, walaupun sangat
pendek uraiannya, bahwa tafsir inilah yang banyak berkembang dalam masyarakat
dan para ulama sekarang ini. Bahkan tafsir kadang-kadang dicetak bersama-sama
dengan Al-Qur’an. Satu hal yang sangat menarik dari tafsir ini adalah
kebanyakan ulama besar memilih tafsir ini untuk menjadi obyek pelajaran tafsir,
bahkan Muhammad Abduh menjadikan tafsir ini sebagai bahan pokok bagi tafsirnya.
2. Tafsir Anwarut Tanzil wa Asrorut Ta’wil,
yang terkenal dengan tafsir Al-Baydhowi yang disusun oleh Nasiruddin ibn sa’id
Al-Baydhowi.Tafsir ini mempunyai nilai yang sangat tinggi dan baik kupasannya
yang mengumpulkan antara tafsir dan ta’wil, berdasar kepada undang-undang Bahas
Arab serta menetapkan dalil-dalil yang sesuai dengan Ahlus Sunnah. Akan tetapi
beliau menutupi setiap surat
dengan menerangkan hadist yang menerangkan keutamaan srat itu yang
terkadang-kadang hadits itu Dho’if. Dan hasyiyahnya yang terbaik ialah
Asy-Shihab Al-Khafajy
3. Tafsir
Mafatihul Ghoib yang terkenal dengan tafsir Ar-Rozi yang disusun oleh
Muhammad ibn Diya’uddin yang terkenal dengan Khotibur Roy
Tafsir ini
banyak menerangkan tentang akidah Ahlus Sunnah, ahkan tafsir menyikapinya
dengan berlebihan dalam membela pendirian Ahlus Sunnah. Beliau menempuh jalan
filsafat, karenanya beliaumengemukakan dalil mengenai masalah ketuhanan menurut
system yang ditempuh oleh ahli-ahli falsafah, walaupun beliuanu menyesuaikan
alasan-alasannya dengan pendirian Ahlus Snnah Wal Jama’ah
4. Tafsir
Irsyadul Aqlis Salim ila Mazayal Qur’anil Karim, yang ditulis oleh Abus
Su’ud Muhammad ibn Muhammad ibn Musthofa Ath-Tahawi
Tafsir ini
merupakan tafsir yang memepunyai seni indah, susunan yang sangat menarik.
Tafsir ini banyak memuat balaghoh Al-Qur’an dan tentang kemu’jizatan Al-qur’an
dari segi bahasa, disamping mempertahankan pendirian Ahlus Sunnah. Abus Su’ud
menjauhkan diri dari pada memanjang-manjangkan keterangan yang tidak berfaedah.
5. Tafsir
Ruhul Ma’ani yang disusun oleh Shihabuddin Al-Lusi
Tafsir ini
sangat mudah untuk difahami karena tafsir ini lebih menonjolkan ibaratnya. Dia
mentahqiqkan sesuatu yang perlu kepada tahqiq, isisnya tidak terlalu panjang,
tafsir ini juga memperhatikan Qiro’at, masalah wakaf, di setiap marhalah dari
marhalah-marhalah tafsir, serta memperhatikan pula takwil Isyari di akhir
tiap-tiap marhalah. Dan biasanya tafsir ini dicetak bersama-sama dengan tafsir
ibn Jarir
6. Tafsir
Ghoroibul Qur’an wa Roghoibul Furqon yang disusun oleh Nidhomuddin Al-Hasan
Muhammad An-Naisabury
Tafsir ini
termasuk golongan Isyary yaitu mentafsirkan Al-Qur’an bukan dengan dhohirnya
untuk mengutarakan sesuatu yang tersembunyi dan hanya dapat dilihat oleh ahli
tasawuf.
7. Tafsir
Assirojul Munir fil I’anati ala Ma’rifati Kalami Robinal Khobir yang
disusun oleh Muhammad Asy-Syarbini Al-Kahatib
Tafsir ini
merupakan sebuah tafsir yang baik yang bernilai dan berkembang dalam
masyarakat, mudah dan dalam pembicaraannya.
Menurut
pendapatnya dalam mentakwilkan Al-qur’an dalam mengumpulkan segala macam I’rob,
dan Qira’at, serta mengandung masalah-masalh yang penting dari ilmu Badie dan
Qiro’at dan menguatkan pendapat-pendapat Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah,
8. Tafsir
Lubanut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil wa Khaqoiqut Ta’wil yang disusun oleh Abul
Bakarat Abdulloh ibn Mahmud An-Nasafy
Suatu tafsir
yang yang mempunyai nilai yang sangat tinggi, tafsir ini menitik beratkan
pemahasannya kepada tiga perkara:
Ø
Menguatkan dalil-dalil yang
dikemukakan dan memberikan alasan-alasan yang sempurna
Ø
Memperkatakan persesuaian
antara surat dengan surat dan antara ayat dengan ayat
Ø
Menerangkan kisah dan
riwayat
9. Tafsir
Al-khozin yang disusun oleh Alauddin Ali ibn Muhammad ibn Ibrahim
Al-Baghdadi yang terkenal dengan nama Al-Khozin.
Tafsir ini
merupakan tafsir yang mentafsirkan Al-Qur’an dengan riwayat.akan tetapi
pengarangnya tidak menyebut sanad dari riwayat tersebut. Dia sangat gemar
menerangkan berbagai macam riwayat dan kisah. Diantara keistimewaannya ialah
menerangkan suatu kisah dengan menyebut pula hal-hal yang bathil dari pada
kisah-kisah itu, agar orang tidak terperdaya dengan kisah-kisah tersebut.
C.
Tafsir bil Izdiwaji
(campuran)
Tafsir Idziwaji disebut juga dengan metode campuran antara tafsir bil
ma’tsur dan tafsir bil ro’yi, yaitu menafsirkan Al qur’an atas perpaduan sumber
tafsir riwayat yang kuat dan shahih, dengan sumber hasil ijtihad akan pikiran
yang sehat.
Prof.Dr.Hamka
dalam tafsirnya “ Al Azhar” menyatakan : Penafsirannya memelihara
sebaik-baiknya hubungan antara naqal dan akal, diantara riwayah dan dirayah.
Penafsiran tidak hanya semata-mata mengutip atau menukil pendapat yang telah
terdahulu, tetapi mempergunakan juga tinjauan pengalaman pribadi.
Contoh kitab-kitab yang termasuk jenis ini
adalah :
1.
Tafsir Al Manar, karya Syeikh Rasyid Ridho
2.
Al Jawahiru fi Tafsiril Qur’an, karya Syaikh Tanthawi Jauhari
3.
Tafsirul Maraghi, karya Syaikh Ahmad Musthofa Al maraghi
BAB III
MACAM-MACAM TAFSIR
BERDASARKAN METODE
I. Tafsir Tahlili
Tafsir
Tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan
ayat-ayat al-Qur`an dari berbagai aspeknya dengan memperhatikan runtunan
ayat-ayat al-Qur`an yang tercantum di dalam mushaf, (Shadr, 1980:10) atau suatu
metode penafsiran al-Qur`an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di
dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang
tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang
menafsirkan ayat tersebut (al-Farmawi, 1977:24).
Dalam metode
ini, segala sesuatu yang di anggap perlu oleh seorang mufassir tahlili
diuraikan, baik bermula dari penjelasan makna lafadz-lafadz tertentu, ayat
per-ayat, surat
per-surat, susunan kalimat, persesuaian kalimat yang satu dengan yang lain,
Asbab al-Nuzul, hadits yang berkenaan dengan ayat-ayat yang ditafsirkan dan
lain-lain.
Penafsiran
yang mengikuti metode ini bisa mengambil bentuk ma`tsur (riwayat) atau ra`yi
(pemikiran). Dalam penafsiran tersebut, al-Qur`an ditafsirkan ayat demi ayat
dan surat demi surat secara berurutan, serta tak ketinggalan
menerangkan Asbab An-Nuzul dari ayat-ayat yg ditafsirkan. Kemudian diungkapkan
pula penafsiran-penafsiran yg pernah diberikan oleh Nabi SAW, Sahabat, Tabi^in,
Tabi Tabi^in, dan para ahli tafsir lainnya dari berbagai disiplin ilmu, seperti
teologi, fiqih, bahasa, sastra, dsb. Selain itu juga dijelaskan Munasabah
antara ayat yg satu dengan yg lainnya.
Ciri lain dari metode ini, penafsirannya diwarnai oleh kecenderungan dan
keahlian mufassirnya sepert fiqih, sufi, falsafi, ilmi, adabi ijtimai, dan
lain-lain.
ÎI. Tafsir Ijmali
Tafsir Ijmali
adalah menafsirkan Al-Qur an dengan cara menjelaskan maksud Al Qur an secar
global, tidak terperinci sepert tafsir tahlili, (Hidayat, 1996: 191) atau
menjelaskan ayat-ayat Al Qur-an secara ringkas tapi mencakup dgn bahasa yang
populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca. Sistematika tulisannya menurut
susunan ayat-ayat yg terdapat dalam mushaf. Selain itu penyajiannya tidak
terlalu jauh dari gaya
bahasa Al Qur-an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih
mendengarkan Al Qur-an padahal yg didengarnya adalah tafsirannya.
Tafsir dengan
metode ini ditetapkan secara khusus bagi orang awam agar mudah memahami maksud
yyg terkandung dalam Al Qur-an. Karena dgn metode tafsir ijmali, seorang
mufassir berbicara kepada pembacanya dgn cara yang termudah, singkat, tidak
berbelit-belit yg dapat menjelaskan arti ayat sebatas artinya tanpa menyinggung
hal-hal lain dari arti yg dikehendaki, dgm target pihaj pembaca memahami
kandungan pokok Al Qur-an.
Penafsiran yang
dilakukan terhadap ayat-ayat Al Qur-an, ayat demi ayat, surat
demi surat ,
sesuai dengan urutannya dalam mushaf. Dan kadangkala mufassir menafsirkan Al
Qur-an dengan lafazh Al Qur-an, sehingga pembaca merasa bahwa uraian tafsirnya
tidak jauh dari konteks Al Qur-an dgn penyajiannya yang mudah dan indah. Metode
tafsir Ijmali ini hampir sama dengan metode tafsir Tahlili, tetapi
penafsirannya tidak secara terperinci seperti tafsir Tahlili, hanya secara
ringkas dan umum.
III. Tafsir Muqoron
Pengertian
metode tafsir Muqoron adalah: 1) membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al Qur-an yang
memiliki kesamaan redaksi dalam 2 kasus lebih, dan atau memiliki berbeda bagi
satu kasus yg sama; 2) membandingkan ayat Al Qur-an dengan hadits yg pada
lahirnya bertentangan; dan 3) membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir di
dalam menafsirkan Al Qur-an (Baidan 1998: 65)
Definisi di
atas menunjukkan bahwa, penafsiran Al Qur-an dgm metode ini memiliki cakupan yang
amat luas, tidak hanya membandingkan ayat dengan ayat, ayat dgn hadits, tapi
juga membandingkan pendapat para mufassir dalam menafsirkan ayat.
Ciri-ciri:
Metode
ini mempunyai ciri khas yang dapat membedakannya dari metode lain yaitu
membandingkan pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan ayat dengan ayat,
atau ayat dengan hadits, baik merka termasuk ulama salaf ataupun ulama hadits yang
metode dan kecenderungan merka berbeda-beda, baik penafsiran merka yg
berdasarkan riwayat yg bersumber dari Rosulullah SAW, Sahabat atau Tabi^in (
tafsir bil ma^tsur) atau berdasarkan rasio, ijtihad (tafsir bil ra^y) dan
mengungkapkan pendapat mereka serta membandingkan segi-segi dan kecenderungan
masing-masing yang berbeda dalam penafsiran Al Qur-an.
Mufassir
dengan metode ini dituntut mampu nenganalisis pendapat-pendapat para ulama
tafsir yang mereka kemukakan untuk kemudian mengambil sikap untuk menerima
penafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsiran yang tidak dapat diterima
oleh rasionya serta menjelaskan kepada pembaca alasan dari sikap yang
diambilnya, sehingga pembaca merasa puas.
IV. Tafsir Maudhu`i
Metode
tafsir Maudhu^i / tematik adalah suatu metode penafsiran Al Qur-an dimana
seorang mufassir mengkaji Al Qur-an sesuai dengan tema atau judul yang telah
ditetapkan dalam Al Qur-an, baik yang berkaitan dengan hal kehidupan,
sosiologi, ataupan kosmologi (Muhaimin, 1994: 120) . Dalam metode ini, semua
ayat yang berkaitan, dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari
berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbaabun nuzul, kosa kata, dsb.
Semuanya dikaji secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau
fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Ciri-ciri
tafsir Maudhu’i adalah :
Sesuai dengan
namanya, maka yang menjadi ciri utama dari metode ini ialah penonjolan tema,
judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode
ini juga disebut metode topikal (Baidan, 1998: 152)
Tafsir
Maudhu^i mempunyai dua bentuk kajian yang menjadi ciri utamanya: Pertama,
pembahasan mengenai satusurat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan
maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai
masalah yang dikandungnya, sehingga surat
itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat. Kedua, menghimpun
sejumlah ayat dari berbagai surat
yang sama-sama membicarakan satu masalah tertentu; ayat-ayat tersebut disusun
sedemikian rupadan diletakkan di bawah satu tema bahasan, selanjutnya
ditafsirkan secara Maudhu^i.
Kemudian
untuk cara kerjanya (yang menjadi ciri khas metode ini) Abd al- Farmawi (1977:
52) merumuskannya sbb:
(a) menetapkan masalah/tema yg akan dibahas;
(b) menghimpun ayat-ayat yg berkaitan dgn masalah tersebut;
(c) menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya;
(d) memahami korelasi ayat-ayat tsb dalam suratnya
masing-masing;
(e) menyusun pembahasan dalam rangka yg sempurna;
(f) melengkapi pembahasan dgn hadits-hadits yg relevan dgn
pokok pembahasan;
(g) mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dgn
jalan menghimpun ayat-ayat yang memiliki pengertian sama, atau
mengkompromasikan antara yang ”amm” dengan yang ’khosh”, yang ”mutlak”, yang
”muqoyyad”, atau yang lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu ke
dalam satu muara tanpa perbedaan atau pamaksaan.
Contoh Kitab-kitab tafsir
bil-Ma’sur yang terkenal :
1). Tafsir yang dinisbahkan kepada
Ibn Abbas.
2). Tafsir Ibn ’Uyainah.
3). Tafsir Ibn Abi Hatim.
4). Tafsir Abusy Syaikh bin
Hibban.
5). Tafsir Ibn ’Atiyah.
6). Tafsir Abuk Lais Samarqandi,
Bahrul Ulum.
7). Tafsir Abu Ishaq, al-Kasyfu
wal Bayan an Tafsiril Qur-an.
8). Tafsir Ibn Jarir at-Tabari,
Jami’ul Bayan fii Tafsiril Qur-an.
9). Tafsir Ibn Abi Syaibah.
10.) Tafsir al-Baghowi, Ma’alimut
Tanzil.
11). Tafsir Abil Fida’ al-Hafizh
Ibn Katsir, Tafsirul Qur-anul Azhim.
12). Tafsir as-Salabi,
al-Jawahirul Hisan fii Tafsiril Qur-an.
13). Tafsir Jalaluddin as-Suyuti,
ad-Durrul Mantsur fit Tafsiri bil Ma’sur.
14). Tafsir asy-Syaukani, Fathul
Qadir.
BABIV
KESIMPULAN
Al-Qur`an sebagai ”hudan-linnas” dan
“hudan-lilmuttaqin”, maka untuk memahami kandungan al-Qur`an agar mudah
diterapkan dalam pengamalan hidup sehari-hari memerlukan pengetahuan dalam
mengetahui arti/maknanya, ta`wil, dan tafsirnya sesuai dengan yang dicontohkan
Rasulullah SAW. Sehingga kehendak tujuan ayat al-Qur`an tersebut tepat
sasarannya.
Terjemah,
tafisr, dan ta`wil diperlukan dalam memahami isi kandungan ayat-ayat al-Qur`an
yang mulia. Pengertian terjemah lebih simple dan ringkas karena hanya merubah
arti dari bahasa yg satu ke bahasa yang lainnya. Sedangkan istilah tafsir lebih
luas ari kata terjemah dan ta’wil , dimana segala sesuatu yang berhubungan
dengan ayat, surat , asbaabun nuzul, ddan lain
sebagainya dibahas dalam tafsir yang bertujuan untuk memberikan kepahaman isi
ayat atau surat
tersebut, sehingga mengetahui maksud dan kehendak firman-firman Allah SWT
tersebut.
Tafsir bil Ro’yi
adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihad setelah mufasir memahami pola-pola
ahasa arab, kata-kata arab dan maknanya serta menguasai ilmu-ilmu Al-Qur’an,
Asbabun Nuzul, nasikh dan mansuh, muhkam dan mutasyabih.
Tafsir bil Ro’yi
mutlak dilakukan dan memiliki potensi akademik untuk tetap terus dikembangkan
dengan seiring tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Tafsir bil Ro’yi
ada dua macam yaitu : Tafsir bil Ro’yi yang Mahmudah dan Tafsir bil Ro’yi yang
madzmumah.
Macam-macam tafsir berdasarkan sumbernya ada 3
(tiga) yaitu : Tafsir bil Ma’tsur, Tafsir bil Ra’yi, dan Tafsir bil Idziwaji.
Macam-macam tafsir berdasarkan metodenya ada 3
(tiga) yaitu : Tafsir Tahlili, Tafsir Ijmali, Tafsir Muqoron, Tafsir Maudhu’i
DAFTAR PUSTAKA
- Ahmad
Syadali,H,MA, Ulumul Qur’an
- Manna Kholil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur-an, Pustaka Litera Antarnusa 2007,
- Saifullah dkk, Ulumul Qur-an, Prodia Pratama
- Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al
qur’an, PT. Pustaka Rizki Putra
No comments:
Post a Comment